PENDEKATAN
DAKWAH PADA
MASYARAKAT
TRADISIONAL
I.
PENDAHULUAN
Dakwah Islam pada dasarnya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW,
namun bentuk dan cara penyampaiannya berlainan, yakni disesuaikan dengan
situasi dan kondisi masyarakat sekitar. Dakwah dapat dilaksanakan dengan
berbagi metode, seperti ceramah, diskusi, tanya jawab, keteladanan,
karyawisata, lisan-hal, dan hikmah. Untuk menyampaikan pesan dakwah, seorang
juru dakwah (da’i) dapat menggunakan berbagai macam media dakwah, baik itu menggunakan
media modern (media elektronika) maupun media tradisional.[1]
Media tradisional dalam dakwah terdapat beberapa pendekatan antara
lain yaitu dengan menggunakan pendekatan pendidikan atau pesantren, dan dengan menggunakan
pendekatan berbagai macam kesenian pertunjukan yang dipentaskan di depan umum
terutama sebagai sarana hiburan yang memiliki sifat komunikatif, seperti seni
ketroprak, karawitan, wayang, seni teater dan lain sebagainya. Dengan demikian
mempermudah bagi juru dakwah (da’i) untuk
menyampaikan dakwah dan juga agar mudah dipahami oleh sasaran dakwah (mad’u),
maka sebaiknya dakwah dilakukan dengan menggunakan salah satu media yang ada.[2]
Metode di atas juga pernah dilakukan oleh para walisongo di Jawa untuk
melakukan dakwah Islam pada masa silam
Kalau kita cermati, banyak tokoh pembesar Islam yang selalu
berdakwah dengan menggunakan sebuah pendekatan-pendekatan yang mereka punya dan
bisa, dari sini pertanyaan kami muncul apakah sebuah pendekatan dakwah itu
memang dianjurkan oleh agama? Dan seandainya dianjurkan, apa dalil yang dapat
dijadikan dasar untuk ini? Dan apakah pendekatan-pendekatan yang telah
dilakukan oleh para pembesar Islam pada masa silam itu hanya metode mereka saja,
tidak ada kaitannya dengan agama?
Untuk menjawab itu semua pada makalah kali ini akan kami bahas
mengenai bagaimanakah pendekatan dakwah menurut Al-Qur’an dan pendekatan dakwah
pada masyarakat tradisional.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimanakah pendekatan dakwah menurut Al-Qur’an?
B.
Apa saja metode yang digunakan pendekatan dakwah
pada masyarakat tradisional?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pendekatan dakwah
menurut Al-Qur’an
Pendekatan
dakwah menurut Al-Qur’an dimaklumi bahwa dakwah yang berkesan memerlukan kepada
suatu pendekatan yang bersesuaian dengan sasaran dakwah. Asas kepada keperluan
ini merujuk kepada dua komponen utama dalam dakwah Islamiyah yaitu isi atau
pengajaran yang hendak disampaikan kepada sasaran dan cara untuk menyampaikan
pengajaran tersebut.[3]
Berdasarkan
kedudukan tersebut, pendekatan adalah satu perkara yang penting dalam dakwah
karena ia merupakan cara bagaimana pengajaran yang disampaikan itu dapat
mempengaruhi sasaran untuk menerimanya. Sesuatu pengajaran walaupun baik, susah
untuk diterima oleh sasaran jika cara penyampaiannya tidak betul.[4]
Tanpa pendekatan yang baik juga, masyarakat yang menjadi sasaran dakwah akan
memberi respon yang negatif terhadapnya walaupun isi yang disampaikan menarik
dan bermutu.
Pendekatan
yang hendak digunakan dalam berdakwah pasti suatu pendekatan yang bersesuaian
dengan fitrah manusia. Ini karena
agama Islam merupakan agama fitrah yang amat bersesuaian dengan fitrah manusia.[5]
Pendekatan Fitrah ini terkandung dalam ayat al-Qur’an sebagaimana
Firman Allah S.W.T yaitu: (QS. An-Nahl: 125)
äí÷Š$#
4’n<Î)
È@‹Î6y™
y7În/u‘
ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/
ÏpsàÏãöqyJø9$#ur
ÏpuZ|¡ptø:$#
(
Oßgø9ω»y_ur
ÓÉL©9$$Î/
}‘Ïd
ß`|¡ômr&
4
¨bÎ)
y7/u‘
uqèd
ÞOn=ôãr&
`yJÎ/
¨@|Ê
`tã
¾Ï&Î#‹Î6y™
(
uqèdur
ÞOn=ôãr&
tûïωtGôgßJø9$$Î/
ÇÊËÎÈ
Artinya: “Serulah ke jalan Tuhanmu (wahai Muhammad)
dengan hikmah kebijaksanaan dan nasihat pengajaran yang baik, dan berbahaslah
dengan mereka dengan cara yang lebih baik; sesungguhnya Tuhanmu Dialah jua yang
lebih mengetahui akan orang yang sesat dari jalan-Nya, dan Dialah jua yang
lebih mengetahui akan orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Terdapat tiga pendekatan utama dalam ayat tersebut yaitu al-Hikmah
(Perkataan yang
tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil), al-Mau’izah al-Hasanah (Nasihat yang baik) dan al-Mujadalah billati hia
ahsan (berdiskusi dengan cara yang terbaik). Tiga
pendekatan inilah yang dipraktikkan oleh Rasulullah saw sepanjang hayatnya
sebagai Rasul.[6]
Ayat tersebut juga dengan jelas memerintahkan
supaya dakwah itu dilakukan dengan pendekatan yang boleh mempengaruhi dan
menarik perhatian sasaran. Selain itu, menurut Dr Ra‘uf Shalabi, cara dakwah
yang dinyatakan dalam ayat tersebut merupakan cara yang dilalui oleh Nabi Muhammad
saw dalam dakwahnya kepada semua peringkat sasaran.[7]
Selain
pendekatan dakwah tersebut, terdapat beberapa pendekatan lain diantaranya yaitu:[8]
1. Penjelasan yang nyata dan jelas
Isi
atau pengajaran yang hendak disampaikan kepada sasaran mestilah jelas dan tidak
menimbulkan kekaburan dan silap faham serta tafsiran yang menyeleweng.
2. Berperingkat-peringkat
Maksudnya dalam memberi materi itu berkesinambungan mulai
yang dasar sampai ke yang lebih tinggi agar tidak memberati orang yang menerima dakwah (Mad’u).
3. Mudah
Materi
yang hendak disampaikan hendaklah melalui semudah-mudah cara. Ini karena Islam
itu sendiri mudah dan selaras dengan tabiat semula jadi manusia terutamanya
dalam perkara yang berkaitan kelonggaran hukum atas sebab-sebab yang munasabah.
4. Menjinakkan
Dakwah
Islamiyah hendaklah dilakukan dalam keadaan berjinak-jinak dengan sasaran. Ini
termasuklah berkenalan dengan seseorang yang akan menerima dakwahnya.
Perkenalan ini bertujuan untuk memahami latar belakang kehidupan sasaran
(Mad’u), corak pemikiran dan bagaimana pengertian dan pandangannya terhadap
alam raya ini dan terhadap agama Islam.
Dengan
kata lain, pendekatan mendampingi sasaran harus jeli agar mampu memberi dampak
yang positif karena dengan berbuat demikian, pendakwah akan menemui ruang-ruang
yang mungkin dijadikan sebagai batu loncatan untuk mengetuk pintu hati orang
ramai.
5. Adanya sebab disebalik sesuatu suruhan dan larangan
Pendekatan melalui pendedahan hikmah (rahasia pensyariatan) disebalik suruhan dan
larangan amat perlu bagi membuka minda sasaran untuk menerima unsur logik dan
rasional. Pemikiran normal biasanya akan akur dengan kenyataan yang berasaskan logical
thinking. Sebagai contoh: faedah yang didapati disebalik sembahyang dan
akibat buruk yang akan diperolehi disebalik melakukan tegahan arak dan judi.
Selain
itu, ‘Abd al-Karim
Zaydan menyebut bahwa al-Qur’an banyak mendedahkan pendekatan dakwah yang mana
setiap orang Islam mesti memahaminya, sebagaimana memahami perkara-perkara lain
yang terdapat dalam al-Qur’an. Tuhan memaparkan cara-cara dakwah dalam
al-Qur’an untuk dijadikan panduan yang boleh membantu usaha untuk berdakwah.[9]
B.
Pendekatan dakwah pada
masyarakat tradisional
Agama Islam masuk di suatu negara pasti mempunyai
sejarah yang berbeda-beda, ada yang melalui jalur perdagangan, ada juga yang
melalui jalur jajahan-jajahan atau ekspansi, dan lain sebagainya. Islam masuk
ke negara Indonesia itu melalui jalur perdagangan, dan itu kemudian
dikembangkan melalui jalur perkawinan, pendidikan atau pesantren, tasawuf,
kesenian, karena kedaan sosial, dan lain sebagainya. Namun disini yang akan
kita bahas bukan pada masuknya agama Islam melainkan pendekatan dakwah Islamiyah
pada waktu itu, karena pada waktu itu masih banyak masyarakat dijajaran dunia
masih dikategorikan sebagai masyarakat yang tradisional.
Ciri-ciri masyarakat tradisional menurut Talcott
Parson :
1. Afektifitas : yaitu hubungan antar
anggota masyarakat didasarkan pada kasih sayang.
2. Orientasi kolektif yaitu lebih
mengutamakan kepentingan kelompok/kebersamaan.
3. Partikularisme yaitu segala sesuatu yang
ada hubungannya dengan apa yang khusus berlaku untuk suatu daerah tertentu
saja, ada hubungannya dengan perasaan subyektif dan rasa kebersamaan.
4. Askripsi yaitu segala sesuatu yang
dimiliki diperoleh dari pewarisan generasi sebelumnya.[10]
Pendekatan dakwah islammiyah yang paling menonjol untuk
dilakukan pada waktu itu adalah dengan menggunakan pendekatan kesenian, dan
pendidikan atau pesantren. Pendekatan ini pernah dilakukan oleh para Walisongo
di pulau Jawa dalam berdakwah untuk agama islam.
Jadi dapat saya simpukan bahwa pendekatan dakwah
pada masyarakat tradisional itu terdapat dua macam pendekatan dakwah, antara
lain yaitu:
a.
Pendekatan dakwah menggunakan kesenian
Telah dinyatakan bahwa pendekatan yang terbaik semestinya
harus berasaskan pada suatu pendekatan yang memang fitrah. Antara unsur fitrah
manusia dengan unsur yang diminati oleh khalayak umum salah satunya yaitu
dengan kesenian. Karena suatu yang diminati oleh khalayak umum pasti akan lebih
mudah diterima oleh masyarakat, tapi kesenian itu harus diselaraskan dengan
masyarakat sekitar dan kondisi pada saat itu.[11]
Seni merupakan salah satu media pendekatan yang mempunyai peran
yang sangat penting dalam pelaksanaan dakwah Islam, karena media tersebut
memiliki daya tarik yang dapat mengesankan hati pendengar maupun penontonnya. Menurut
Abdurrahman Al Baghdadi, definisi seni yaitu penjelmaan rasa indah yang
terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantara alat komunikasi
ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara),
penglihatan (seni lukis) dan dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni
tari/drama).[12]
Seni merupakan bentuk keindahan yang tampak nyata yang langsung dapat dinikmati
oleh manusia. Hal ini pernah dibuktikan oleh Umar bin Khattab ketika beliau akan
masuk Islam yaitu bergetar hatinya ketika mendengar keindahan seni dalam bahasa
al-Qur’an yang dilantukan oleh adiknya.[13]
Demikian juga dengan penyebaran agama Islam di pulau Jawa dapat tersebar luas
serta diterima oleh masyarakat karena para Walisongo sebagai Da’i itu menggunakan
bentuk-bentuk seni dari budaya masyarakat setempat sebagai salah satu media
dakwah pada waktu itu, yaitu media wayang dan gamelan.[14]
Adapun pendekatan dan pengembangan dakwah yang digunakan oleh
Walisongo yang sesuai dengan media dakwah setempat yang sedang digandrungi oleh
masyarakat, yaitu melalui gamelan. Para wali melihat bahwa gamelan dengan
lagu-lagu yang disyairkan sebagai media komunikasi dan interaksi yang mampu
merubah pola pikir masyarakat. Kesenian gamelan kemudian dimodifikasi dan
disesuaikan oleh para Wali dengan konteks dakwah atau di Islamkan. Media
tradisional yang ada disekitar masyarakat yang berupa wayang dan gamelan
digunakan para Wali untuk berdakwah sehingga membuat agama Islam dapat tersebar
secara luas di Pulau Jawa. Dengan media tersebut materi dakwah mudah ditangkap
oleh masyarakat yang awam karena pendekatan-pendekatan Walisongo yang konkrit
dan realistis, ini menyatu dengan kehidupan dimasyarakat.[15]
Pemanfaatan
hiburan bagi
tujuan dakwah merupakan satu usaha yang sepatutnya dipandang serius oleh semua
pihak. Hal ini karena ia bukan saja berperanan memenuhi tuntutan fitrah manusia
yang menginginkan ketenangan dan hiburan, tapi malah ia dilihat mempunyai
potensi yang besar dalam mempengaruhi pemikiran dan gaya hidup masyarakat dan seterusnya
mencorakkan budaya sebuah bangsa. Selain itu juga, ia mampu menyelinap secara
halus dan tanpa disadari dapat mengubah sasaran kepada suatu yang positif. Melalui
pendekatan ini juga, bukan hanya pesan Islam yang terkandung dalam lirik lagu
atau syair saja yang memberi dampak kepada pendengar, tapi juga gaya hidup,
penampilan, corak pemakaian, muamalah, penghibur juga menjadi ikutan dan idola
mereka.[16]
b.
Pendekatan dakwah menggunakan pendidikan atau
pesantren
Dakwah
melaui pendekatan pendidikan telah dilakukan Nabi pada masa-masa awal
berbarengan dengan dakwah Sirri (dakwah yang mengguunakan pendekatan personal/konseling)
seperti dilakukan di rumah Abu al-Arqom. Ketika Nabi hijrah ke Madinah barulah
pendidikan berkembang dan diorganisir secara sempurna. Adapun sistem pendidikan
yang dikembangkan Nabi adalah sistem kaderisasi dengan membina para sahabat. Kemudian
para sahabat mengembangkannya ke seluruh dunia. Mulai dari Khulafaurasyidin
kemudian generasi berikutnya. Dimulai dari pembinaan dan kaderisasi di Makkah
yang agak terbatas kemudian ke Madinah dengan membentuk komunitas muslim
ditengah-tengah masyarakat Madinah yang cukup heterogen.[17]
Pendekatan ini kemudian berkembang di berbagai negara
dengan bukti ketika itu banyak negara-negara yang mendirikan
universitas-universitas Islam ketika masa kejayaan Islam, di Indonesia sendiri
pendekatan ini juga ada melalui para Wali yang membuka pesantren-pesantren
untuk pengkajian ilmu-ilmu agama.
IV.
KESIMPULAN
Pendekatan
adalah satu perkara yang penting dalam dakwah karena ia merupakan cara
bagaimana pengajaran yang disampaikan itu dapat mempengaruhi sasaran untuk menerimanya.
Terdapat tiga pendekatan utama
dalam ayat tersebut iaitu al-Hikmah, al-Mau’izah al-Hasanah dan al-Mujadalah billati hia ahsan.
Selain
pendekatan dakwah tersebut, terdapat beberapa pendekatan lain antaranya yaitu:
1. Penjelasan yang nyata dan jelas
2. Berperingkat-peringkat
3. Mudah
4. Menjinakkan
5. Adanya sebab disebalik sesuatu suruhan dan larangan
Terdapat dua macam pendekatan dakwah pada masyarakat
tradisional antara lain yaitu:
a.
Pendekatan menggunakan kesenian
b.
Pendekatan menggunakan pendidikan atau pesantren
V.
PENUTUP
Demikianlah uraian yang dapat Penulis sampaikan dalam makalah
ini. Sebagai manusia biasa, tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari Para Pembaca
sangat Penulis nantikan demi kesempurnaan makalah dimasa yang akan datang.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi Pembaca pada
umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, Dakwah Islam, Jakarta: LP3S, 1996.
Al-Mubarakfurry, Syafiyyur-Rahman, Sirah Nabawiyah, Tegal:
Maktabah Dar Al-Fiha’, 2007.
Amin, M. Darori, Islam dan kebudayaan Jawa,
Yogyakarta: Gama Media, 2000.
Lauer, Robert. H., Perspektif Tentang Perubahan Sosial edisi
ke-2, Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
MANZ, Charlez, C., Seni Memimpin Diri Sendiri, Yogyakarta:
KANISIUS, 1986.
Muchtaram, Zaini, Dasar-Dasar Manajemen Dakwah, Yogyakarta:
Al Amin Press dan IKFA, 1996.
Pimay, Awaludin, Metodologi
Dakwah Kajian Teoritis dari Khazanah al-Qur’an, Semarang: RaSAIL, 2006.
Purwadi, Dakwah Sunan Kali jaga , Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003.
Soekamto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1990.
Syabibi, M. Ridho, Metodologi Ilmu Dakwah, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008.
http//makalah-ibnu.blogspot.com/2008/09/fenomena-dakwah-melalui-media
seni.html.
[1] Drs. H. M. Darori
Amin. MA, Islam dan kebudayaan Jawa,
( Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm.
120
[2] http//makalah-ibnu.blogspot.com/2008/09/fenomena-dakwah-melalui-media-seni.html.
diapload pada hari Rabu, 14.31 WIB, tanggal
10-09-2008 oleh Auf Syahid.
[3] Robert H. Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial edisi ke-2,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm. 387
[5] Zaini Muchtaram, Dasar-Dasar Manajemen Dakwah, (Yogyakarta:
Al Amin Press dan IKFA, 1996), hlm. 12
[6] Dr. H. Awaludin Pimay, Lc., M.Ag., Metodologi Dakwah Kajian
Teoritis dari Khazanah al-Qur’an, (Semarang: RaSAIL, 2006), hlm. 47-71
[8] M. Ridho Syabibi, S.Ag., M.Ag, Metodologi Ilmu Dakwah,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 67-69
[10] Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1990), hlm. 18
[13] Syafiyyur-Rahman Al-Mubarakfurry, Sirah Nabawiyah, (Tegal:
Maktabah Dar Al-Fiha’, 2007), hlm. 27-28