Jumat, 23 November 2012

dakwah pada masyarakat tradisional



PENDEKATAN DAKWAH PADA
MASYARAKAT TRADISIONAL

I.                   PENDAHULUAN
Dakwah Islam pada dasarnya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW, namun bentuk dan cara penyampaiannya berlainan, yakni disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat sekitar. Dakwah dapat dilaksanakan dengan berbagi metode, seperti ceramah, diskusi, tanya jawab, keteladanan, karyawisata, lisan-hal, dan hikmah. Untuk menyampaikan pesan dakwah, seorang juru dakwah (da’i) dapat menggunakan berbagai macam media dakwah, baik itu menggunakan media modern (media elektronika) maupun media tradisional.[1]
Media tradisional dalam dakwah terdapat beberapa pendekatan antara lain yaitu dengan menggunakan pendekatan pendidikan atau pesantren, dan dengan menggunakan pendekatan berbagai macam kesenian pertunjukan yang dipentaskan di depan umum terutama sebagai sarana hiburan yang memiliki sifat komunikatif, seperti seni ketroprak, karawitan, wayang, seni teater dan lain sebagainya. Dengan demikian mempermudah bagi juru dakwah  (da’i) untuk menyampaikan dakwah dan juga agar mudah dipahami oleh sasaran dakwah (mad’u), maka sebaiknya dakwah dilakukan dengan menggunakan salah satu media yang ada.[2] Metode di atas juga pernah dilakukan oleh para walisongo di Jawa untuk melakukan dakwah Islam pada masa silam
Kalau kita cermati, banyak tokoh pembesar Islam yang selalu berdakwah dengan menggunakan sebuah pendekatan-pendekatan yang mereka punya dan bisa, dari sini pertanyaan kami muncul apakah sebuah pendekatan dakwah itu memang dianjurkan oleh agama? Dan seandainya dianjurkan, apa dalil yang dapat dijadikan dasar untuk ini? Dan apakah pendekatan-pendekatan yang telah dilakukan oleh para pembesar Islam pada masa silam itu hanya metode mereka saja, tidak ada kaitannya dengan agama?
Untuk menjawab itu semua pada makalah kali ini akan kami bahas mengenai bagaimanakah pendekatan dakwah menurut Al-Qur’an dan pendekatan dakwah pada masyarakat tradisional.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimanakah pendekatan dakwah menurut Al-Qur’an?
B.     Apa saja metode yang digunakan pendekatan dakwah pada masyarakat tradisional?

III.             PEMBAHASAN
A.     Pendekatan dakwah menurut Al-Qur’an
Pendekatan dakwah menurut Al-Qur’an dimaklumi bahwa dakwah yang berkesan memerlukan kepada suatu pendekatan yang bersesuaian dengan sasaran dakwah. Asas kepada keperluan ini merujuk kepada dua komponen utama dalam dakwah Islamiyah yaitu isi atau pengajaran yang hendak disampaikan kepada sasaran dan cara untuk menyampaikan pengajaran tersebut.[3]
Berdasarkan kedudukan tersebut, pendekatan adalah satu perkara yang penting dalam dakwah karena ia merupakan cara bagaimana pengajaran yang disampaikan itu dapat mempengaruhi sasaran untuk menerimanya. Sesuatu pengajaran walaupun baik, susah untuk diterima oleh sasaran jika cara penyampaiannya tidak betul.[4] Tanpa pendekatan yang baik juga, masyarakat yang menjadi sasaran dakwah akan memberi respon yang negatif terhadapnya walaupun isi yang disampaikan menarik dan bermutu.
Pendekatan yang hendak digunakan dalam berdakwah pasti suatu pendekatan yang bersesuaian dengan fitrah manusia. Ini karena agama Islam merupakan agama fitrah yang amat bersesuaian dengan fitrah manusia.[5]
Pendekatan Fitrah ini terkandung dalam ayat al-Qur’an sebagaimana Firman Allah S.W.T yaitu: (QS. An-Nahl: 125)
äí÷Š$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4
 ¨bÎ) y7­/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ  
Artinya: “Serulah ke jalan Tuhanmu (wahai Muhammad) dengan hikmah kebijaksanaan dan nasihat pengajaran yang baik, dan berbahaslah dengan mereka dengan cara yang lebih baik; sesungguhnya Tuhanmu Dialah jua yang lebih mengetahui akan orang yang sesat dari jalan-Nya, dan Dialah jua yang lebih mengetahui akan orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Terdapat tiga pendekatan utama dalam ayat tersebut yaitu al-Hikmah (Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil), al-Mau’izah al-Hasanah (Nasihat yang baik) dan al-Mujadalah billati hia ahsan (berdiskusi dengan cara yang terbaik). Tiga pendekatan inilah yang dipraktikkan oleh Rasulullah saw sepanjang hayatnya sebagai Rasul.[6]
 Ayat tersebut juga dengan jelas memerintahkan supaya dakwah itu dilakukan dengan pendekatan yang boleh mempengaruhi dan menarik perhatian sasaran. Selain itu, menurut Dr Ra‘uf Shalabi, cara dakwah yang dinyatakan dalam ayat tersebut merupakan cara yang dilalui oleh Nabi Muhammad saw dalam dakwahnya kepada semua peringkat sasaran.[7]
Selain pendekatan dakwah tersebut, terdapat beberapa pendekatan lain diantaranya yaitu:[8]
1.      Penjelasan yang nyata dan jelas
Isi atau pengajaran yang hendak disampaikan kepada sasaran mestilah jelas dan tidak menimbulkan kekaburan dan silap faham serta tafsiran yang menyeleweng.
2.      Berperingkat-peringkat
Maksudnya dalam memberi materi itu berkesinambungan mulai yang dasar sampai ke yang lebih tinggi agar tidak memberati orang yang menerima dakwah (Mad’u).
3.      Mudah
Materi yang hendak disampaikan hendaklah melalui semudah-mudah cara. Ini karena Islam itu sendiri mudah dan selaras dengan tabiat semula jadi manusia terutamanya dalam perkara yang berkaitan kelonggaran hukum atas sebab-sebab yang munasabah.
4.      Menjinakkan
Dakwah Islamiyah hendaklah dilakukan dalam keadaan berjinak-jinak dengan sasaran. Ini termasuklah berkenalan dengan seseorang yang akan menerima dakwahnya. Perkenalan ini bertujuan untuk memahami latar belakang kehidupan sasaran (Mad’u), corak pemikiran dan bagaimana pengertian dan pandangannya terhadap alam raya ini dan terhadap agama Islam.
Dengan kata lain, pendekatan mendampingi sasaran harus jeli agar mampu memberi dampak yang positif karena dengan berbuat demikian, pendakwah akan menemui ruang-ruang yang mungkin dijadikan sebagai batu loncatan untuk mengetuk pintu hati orang ramai.
5.      Adanya sebab disebalik sesuatu suruhan dan larangan
Pendekatan melalui pendedahan hikmah (rahasia pensyariatan) disebalik suruhan dan larangan amat perlu bagi membuka minda sasaran untuk menerima unsur logik dan rasional. Pemikiran normal biasanya akan akur dengan kenyataan yang berasaskan logical thinking. Sebagai contoh: faedah yang didapati disebalik sembahyang dan akibat buruk yang akan diperolehi disebalik melakukan tegahan arak dan judi.
Selain itu, ‘Abd al-Karim Zaydan menyebut bahwa al-Qur’an banyak mendedahkan pendekatan dakwah yang mana setiap orang Islam mesti memahaminya, sebagaimana memahami perkara-perkara lain yang terdapat dalam al-Qur’an. Tuhan memaparkan cara-cara dakwah dalam al-Qur’an untuk dijadikan panduan yang boleh membantu usaha untuk berdakwah.[9]

B.     Pendekatan dakwah pada masyarakat tradisional
Agama Islam masuk di suatu negara pasti mempunyai sejarah yang berbeda-beda, ada yang melalui jalur perdagangan, ada juga yang melalui jalur jajahan-jajahan atau ekspansi, dan lain sebagainya. Islam masuk ke negara Indonesia itu melalui jalur perdagangan, dan itu kemudian dikembangkan melalui jalur perkawinan, pendidikan atau pesantren, tasawuf, kesenian, karena kedaan sosial, dan lain sebagainya. Namun disini yang akan kita bahas bukan pada masuknya agama Islam melainkan pendekatan dakwah Islamiyah pada waktu itu, karena pada waktu itu masih banyak masyarakat dijajaran dunia masih dikategorikan sebagai masyarakat yang tradisional.
Ciri-ciri masyarakat tradisional menurut Talcott Parson :
1.    Afektifitas : yaitu hubungan antar anggota masyarakat didasarkan pada kasih sayang.
2.   Orientasi kolektif yaitu lebih mengutamakan kepentingan kelompok/kebersamaan.
3.   Partikularisme yaitu segala sesuatu yang ada hubungannya dengan apa yang khusus berlaku untuk suatu daerah tertentu saja, ada hubungannya dengan perasaan subyektif dan rasa kebersamaan.
4.   Askripsi yaitu segala sesuatu yang dimiliki diperoleh dari pewarisan generasi sebelumnya.[10]
Pendekatan dakwah islammiyah yang paling menonjol untuk dilakukan pada waktu itu adalah dengan menggunakan pendekatan kesenian, dan pendidikan atau pesantren. Pendekatan ini pernah dilakukan oleh para Walisongo di pulau Jawa dalam berdakwah untuk agama islam.
Jadi dapat saya simpukan bahwa pendekatan dakwah pada masyarakat tradisional itu terdapat dua macam pendekatan dakwah, antara lain yaitu:
a.       Pendekatan dakwah menggunakan kesenian
Telah dinyatakan bahwa pendekatan yang terbaik semestinya harus berasaskan pada suatu pendekatan yang memang fitrah. Antara unsur fitrah manusia dengan unsur yang diminati oleh khalayak umum salah satunya yaitu dengan kesenian. Karena suatu yang diminati oleh khalayak umum pasti akan lebih mudah diterima oleh masyarakat, tapi kesenian itu harus diselaraskan dengan masyarakat sekitar dan kondisi pada saat itu.[11]
Seni merupakan salah satu media pendekatan yang mempunyai peran yang sangat penting dalam pelaksanaan dakwah Islam, karena media tersebut memiliki daya tarik yang dapat mengesankan hati pendengar maupun penontonnya. Menurut Abdurrahman Al Baghdadi, definisi seni yaitu penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantara alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), penglihatan (seni lukis) dan dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari/drama).[12] Seni merupakan bentuk keindahan yang tampak nyata yang langsung dapat dinikmati oleh manusia. Hal ini pernah dibuktikan oleh Umar bin Khattab ketika beliau akan masuk Islam yaitu bergetar hatinya ketika mendengar keindahan seni dalam bahasa al-Qur’an yang dilantukan oleh adiknya.[13] Demikian juga dengan penyebaran agama Islam di pulau Jawa dapat tersebar luas serta diterima oleh masyarakat karena para Walisongo sebagai Da’i itu menggunakan bentuk-bentuk seni dari budaya masyarakat setempat sebagai salah satu media dakwah pada waktu itu, yaitu media wayang dan gamelan.[14]
Adapun pendekatan dan pengembangan dakwah yang digunakan oleh Walisongo yang sesuai dengan media dakwah setempat yang sedang digandrungi oleh masyarakat, yaitu melalui gamelan. Para wali melihat bahwa gamelan dengan lagu-lagu yang disyairkan sebagai media komunikasi dan interaksi yang mampu merubah pola pikir masyarakat. Kesenian gamelan kemudian dimodifikasi dan disesuaikan oleh para Wali dengan konteks dakwah atau di Islamkan. Media tradisional yang ada disekitar masyarakat yang berupa wayang dan gamelan digunakan para Wali untuk berdakwah sehingga membuat agama Islam dapat tersebar secara luas di Pulau Jawa. Dengan media tersebut materi dakwah mudah ditangkap oleh masyarakat yang awam karena pendekatan-pendekatan Walisongo yang konkrit dan realistis, ini menyatu dengan kehidupan dimasyarakat.[15]
Pemanfaatan hiburan bagi tujuan dakwah merupakan satu usaha yang sepatutnya dipandang serius oleh semua pihak. Hal ini karena ia bukan saja berperanan memenuhi tuntutan fitrah manusia yang menginginkan ketenangan dan hiburan, tapi malah ia dilihat mempunyai potensi yang besar dalam mempengaruhi pemikiran dan gaya hidup masyarakat dan seterusnya mencorakkan budaya sebuah bangsa. Selain itu juga, ia mampu menyelinap secara halus dan tanpa disadari dapat mengubah sasaran kepada suatu yang positif. Melalui pendekatan ini juga, bukan hanya pesan Islam yang terkandung dalam lirik lagu atau syair saja yang memberi dampak kepada pendengar, tapi juga gaya hidup, penampilan, corak pemakaian, muamalah, penghibur juga menjadi ikutan dan idola mereka.[16]
b.      Pendekatan dakwah menggunakan pendidikan atau pesantren
Dakwah melaui pendekatan pendidikan telah dilakukan Nabi pada masa-masa awal berbarengan dengan dakwah Sirri (dakwah yang mengguunakan pendekatan personal/konseling) seperti dilakukan di rumah Abu al-Arqom. Ketika Nabi hijrah ke Madinah barulah pendidikan berkembang dan diorganisir secara sempurna. Adapun sistem pendidikan yang dikembangkan Nabi adalah sistem kaderisasi dengan membina para sahabat. Kemudian para sahabat mengembangkannya ke seluruh dunia. Mulai dari Khulafaurasyidin kemudian generasi berikutnya. Dimulai dari pembinaan dan kaderisasi di Makkah yang agak terbatas kemudian ke Madinah dengan membentuk komunitas muslim ditengah-tengah masyarakat Madinah yang cukup heterogen.[17]
Pendekatan ini kemudian berkembang di berbagai negara dengan bukti ketika itu banyak negara-negara yang mendirikan universitas-universitas Islam ketika masa kejayaan Islam, di Indonesia sendiri pendekatan ini juga ada melalui para Wali yang membuka pesantren-pesantren untuk pengkajian ilmu-ilmu agama.

IV.             KESIMPULAN
Pendekatan adalah satu perkara yang penting dalam dakwah karena ia merupakan cara bagaimana pengajaran yang disampaikan itu dapat mempengaruhi sasaran untuk menerimanya. Terdapat tiga pendekatan utama dalam ayat tersebut iaitu al-Hikmah, al-Mau’izah al-Hasanah  dan al-Mujadalah billati hia ahsan.
Selain pendekatan dakwah tersebut, terdapat beberapa pendekatan lain antaranya yaitu:
1.      Penjelasan yang nyata dan jelas
2.      Berperingkat-peringkat
3.      Mudah
4.      Menjinakkan
5.      Adanya sebab disebalik sesuatu suruhan dan larangan
Terdapat dua macam pendekatan dakwah pada masyarakat tradisional antara lain yaitu:
a.       Pendekatan menggunakan kesenian
b.      Pendekatan menggunakan pendidikan atau pesantren






V.                PENUTUP
Demikianlah uraian yang dapat Penulis sampaikan dalam makalah ini. Sebagai manusia biasa, tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari Para Pembaca sangat Penulis nantikan demi kesempurnaan makalah dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi Pembaca pada umumnya.

























DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, Dakwah Islam, Jakarta: LP3S, 1996.
Al-Mubarakfurry, Syafiyyur-Rahman, Sirah Nabawiyah, Tegal: Maktabah Dar Al-Fiha’, 2007.
Amin, M. Darori, Islam dan kebudayaan Jawa, Yogyakarta:  Gama Media, 2000.
Lauer, Robert. H., Perspektif Tentang Perubahan Sosial edisi ke-2, Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
MANZ, Charlez, C., Seni Memimpin Diri Sendiri, Yogyakarta: KANISIUS, 1986.
Muchtaram, Zaini, Dasar-Dasar Manajemen Dakwah, Yogyakarta: Al Amin Press dan IKFA, 1996.
Pimay, Awaludin,  Metodologi Dakwah Kajian Teoritis dari Khazanah al-Qur’an, Semarang: RaSAIL, 2006.
Purwadi, Dakwah Sunan Kali jaga , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Soekamto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1990.
Syabibi, M. Ridho, Metodologi Ilmu Dakwah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
http//makalah-ibnu.blogspot.com/2008/09/fenomena-dakwah-melalui-media seni.html.


[1] Drs. H. M. Darori Amin. MA, Islam dan kebudayaan Jawa, ( Yogyakarta:  Gama Media, 2000), hlm. 120
[2] http//makalah-ibnu.blogspot.com/2008/09/fenomena-dakwah-melalui-media-seni.html. diapload pada hari Rabu, 14.31 WIB, tanggal  10-09-2008 oleh Auf Syahid.
[3] Robert H. Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial edisi ke-2, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm. 387
[4] Ibid., hlm. 388
[5] Zaini Muchtaram, Dasar-Dasar Manajemen Dakwah, (Yogyakarta: Al Amin Press dan IKFA, 1996), hlm. 12
[6] Dr. H. Awaludin Pimay, Lc., M.Ag., Metodologi Dakwah Kajian Teoritis dari Khazanah al-Qur’an, (Semarang: RaSAIL, 2006), hlm. 47-71
[7] Taufik Abdullah, Dakwah Islam, (Jakarta: LP3S, 1996), hlm. 60
[8] M. Ridho Syabibi, S.Ag., M.Ag, Metodologi Ilmu Dakwah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 67-69
[9] Taufik Abdullah, Op.cit., hlm. 61
[10] Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1990), hlm. 18
[11] Drs. H. M. Darori Amin. MA, Op.cit., hlm. 134
[12] Charlez C. MANZ, Seni Memimpin Diri Sendiri, (Yogyakarta: KANISIUS, 1986), hlm. 3
[13] Syafiyyur-Rahman Al-Mubarakfurry, Sirah Nabawiyah, (Tegal: Maktabah Dar Al-Fiha’, 2007), hlm. 27-28
[14] Dr. Purwadi, Dakwah Sunan Kali jaga , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 34
[15] http//makalah-ibnu.blogspot.com/2008/09/fenomena-dakwah-melalui-media-seni.html., Op.cit
[16] Dr. Purwadi, Op.cit., hlm. 44