LOGIKA MATERIL
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi
Mata Kuliah : Logika
Dosen Pengampu : Komaruddin, M.
Ag
Disusun Oleh:
Akhmad Basar ( 111 111 075 )
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI WALISONGO
2012
LOGIKA MATERIL
I.
PENDAHULUAN
Dalam logika formil kita telah mempelajari cara
menarik kesimpulan dari premis-premis yang kita anggap benar. Dari
premis-premis tersebut kita nantinya juga akan memperoleh kesimpulan yang kita anggap benar
juga, Apabila kita hanya mencari kebenaran dengan cara ini saja itu kita tidak
selalu menemukan kebenaran. Ternyata kita perlu juga memeriksa premis-premis
itu terlebih dahulu, apabila premis-premis itu isinya benar bisa kita tarik kesimpulan
akan tetapi jika premis-premis itu salah atau palsu pasti kita tidak akan bisa
menarik kesimpulan seandainya itu dipaksakan
ditarik kesimpulannya pasti tidak sesuai dengan fakta. Tidak jarang
terjadi bahwa premis-premis yang keliru dapat menghasilkan konklusi yang benar.
Namun kesimpulan yang ditarik secara ini tidak ada artinya karena tidak dapat
dipertanggungjawabkan.[1]
Untuk memeriksa kebenaran isi permis itu perlu
dipelajari dalam logika materiil, karena logika materiil tidak selalu mudah menemukan
kebenaran atau kesalahan dari suatu premis, di dalam logika materiil perlu
diperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan usaha untuk mencari kebenaran,
aliran-aliran yang berhubungan dengan pengenalan kebenaran serta norma-norma
dalam suatu kebenaran dan semua itu akan kami bahas dalam makalah ini.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Apa pengertian logika materiil?
B.
Apa yang dimaksud dengan menangkap dan mengenal suatu obyek?
C.
Apa saja aliran-aliran yang berhubungan dengan pengenalan kebenaran?
D.
Adakah norma-norma dalam
kebenaran?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Logika
Materiil
Logika merupakan suatu
ilmu yang mempelajari tentang metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk
membedakan penalaran yang betul dari penalaran yang salah. Sedangkan materiil
merupakan suatu bahan atau suatu objek, objek di sini nantinya akan
disimpullkan melalui penalaran kalau ada objek yang lain, objek-objek itu dapat
kita sebut sebagai premis. Misal terdapat premis sederhana (premis 1) “ Monyet adalah
seekor hewan” (premis 2) “Hewan peliharaan Andi mati” dari kedua premis atau
objek tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan dengan mengunakan logika “Monyet
peliharaan Andi mati” tapi kesimpulan itu bisa salah walaupun steatment
itu benar karena belum tentu hewan peliharaan Andi itu seekor Monyet bisa juga
yang lain, seperti Ayam, kelinci, kambing dll, makanya itu harus ada
pembuktian.[2]
jadi dapat saya simpulkan
bahwa logika materiil merupakan sebuah ilmu penalaran yang harus dicari
kebenaran-kebenaran pada premis atau objek terlebih dahulu sebelum mengambil
keputusan.
Setelah saya simpulkan
seperti itu mungkin dari pembaca ada pertanyaan mengenai mencari kebenaran.
Bagaimana cara kita untuk mencari kebenaran yang baik? Untuk menjawab itu
memang tidak mudah, karena banyak para filusuf yang memikirkan jawaban atas
pertanyaan ini, tetapi masing-masing mendapat jawaban yang berbeda, bahkan ada
aliran filsafat yang meragukan kebenaran, mereka tidak yakin bahwa kebenaran
itu ada, mereka ini adalah kaum skeptis.[3]
Namun kita bukan termasuk
kaum skeptis, karena kaum skeptis sebenarnya juga tidak konsekuen, kalau mereka
ragu-ragu akan adanya kebenaran apakah mereka tidak meragukan atas
keragu-raguanya? Hal yang demikian kalau menghinggapi manusia akan berbahaya,
karena manusia tersebut tidak punya pendirian yang kuat, mudah terjerumus
kepada perbuatan pemuasan nafsu. Kita yakin bahwa kebenaran itu ada dan kita
dapat mengenal kebenaran itu, kita dapat berfikir benar. Dan untuk mencapai
kebenaran itu ada jalannya, sekalipun bermacam-macam jalan, akhirnya kita akan
menemukan juga kepastian dan evidensi[4].
Dengan dasar inilah manusia dapat menyusun hidupnya lebih baik dari hari ke
hari.
B.
Menangkap dan Mengenal
Obyek
Cara bagaimana pikiran
kita dapat menangkap obyek dan dapat memikirkan obyek itu?
Apabila kita berpikir
tentu ada obyek yang dipikirkan, setelah obyek itu dipikirkan maka disimpan
sebagai pengetahuan. Dengan pengetahuan yang baru kita peroleh ini kita
memiliki obyek baru lagi dan kita akan mendapat pengetahuan yang lebih baru
lagi. Demikian pengetahuan itu dari yang paling sederhana menuju kepada
pengetahuan yang lebih luas dan kompleks.
Boleh dikatakan bahwa
pikiran kita tidak pernah berhenti karena obyek yang dipikirkan selalu datang,
sesuai dengan pengetahuan kita semakin banyak dan luas, maka obyek yang baru
datang juga lebih besar dan lebih kompleks. Jadi kemampuan pikiran kita makin
bertambah sesuai dengan pengetahuan yang kita miliki. Contoh : Seorang
mempelajari logika dan matematika kemudian seorang itu bisa mencari
hubungannya. Begitu juga dengan sejarah dan sosiologi, maka seorang yang menguasai
berbagai bidang ilmu dapat memandang jauh lebih luas dari pada yang hanya
mengenal satu bidang ilmunya saja.[5]
Menurut Aristoteles
mengenal adalah suatu gambaran benda-benda di alam sekitar kita ini dalam
kesadaran kita.
Menurut Imannuel Kant,
adalah “Apabila kita mengenal suatu obyek itu tidak berarti kesadaran kita
mengenal gambaran obyek itu tetapi kesadaran kita yang memberi bentuk pada
obyek itu” sedangkan kita menangkap obyek itu kita hanya mempunyai gambaran
pada pikiran kita saja belum dalam berbentuk benda apapun, hanya bayangan. Ternyata
proses pengenalan dan penangkapan suatu obyek itu bertingkat-tingkat:
1.
Keadaan tidak tahu sama sekali
Dalam tingkat ini tidak
dikenal adanya obyek. Obyek tidak disadari, kebenaran obyek tidak ada.
2.
Kebimbangan
Obyek menampakkan diri
dalam pikiran tetapi kesadaran kita tidak dapat menerimanya, maka kesadaran
harus memberi bentuk pada obyek itu.
3.
Mengira-ngira, menduga
Setelah kesadaran dapat
menangkap suatu obyek itu tidak diakui sebagai kebenaran tetapi masih diteliti
kembali apakah sudah sesuai antara bentuk yang diberikan dengan gambaran obyek
yang diterima kesadaran.
4.
Pendapat
Setelah ada kesesuaian
antara obyek dengan kesadaran maka ada pendapat tentang obyek itu, kesadaran dapat memberri nama atau
menjelaskan sifat-sifat dari obyeknya itu, namun masih perlu diteliti kembali.
5.
Keyakinan
Keyakinan merupakan
pendapat yang telah dikoreksi dan dikuatkan.
6.
Kepastian
Dari tingkakt keyakinan
perlu diuji lagi dengan hal-hal yang lebih luas sehingga diperoleh kepastian
dari kebenaran obyek itu, dan pada tingkat kepastian ini tidak ada rasa
kekhawatiran dan takut akan kekeliruan.[6]
C.
Aliran yang berhubungan
dengan pengenalan kebenaran
Di atas telah dikatakan
bahwa kita harus punya keyakinan akan kemampuan manusia untuk memperoleh
kebenaran dan kepastian. Keyakinan kita ini akan kita peroleh apabila kita tahu
cara kita mendapatkan kebenaran itu. Kita harus mampu menguji pendapat kita
sendiri dan menguji pendapat orang lain yang akan kita terima. Kita tidak dapat
mengujinya apabila kita tidak tahu cara memperolehnya. Misalnya: kita diberitahu tentang fakta sejarah,
sebelum kita menerima pemberitahuan itu, kita jadikan pengetahuan kita harus
bertanya dulu bagaimana orang tersebut bisa mengetahui ini, sehingga kita bisa
mengetahui atau membuktikannya kembali.[7]
Disini akan saya tunjukan
beberapa aliran filsafat yang cukup berpengaruh:
1)
Rasionalisme
Rasionalisme merupakan segala
sesuatu itu harus meletakkan dasar pengenalan pada akal, karena akal dapat
memahami kenyataan ini. Kesalahan atau kebenaran itu terletak pada akal kita
bukan bendanya, jadi kebenaran itu hanya ada pada akal saja.
2)
Impirisme
Impirisme menyatakan bahwa
kita memperoleh pengetahuan atau mengenal kenyataan ini melalui pengalaman
pancaindra. Antara subyek (manusia) dengan obyek yang diketahui (benda)
terletak pengalaman pancaindra.
3)
Realisme
Dalam aliran realisme ada
yang menyebutnya juga realisme naïf, yaitu realisme yang kekanak-kanakan.
Maksudnya segala sesuatu yang kiat lihat itu bisa kita tafsirkan begitu saja,
misalnya: pada waktu siang hari yang panas kita sering melihat air yang
menggenangi jalan tetapi setelah kita dekati ternyata tidak ada apa-apa. Dari
jauh kita melihat rel kereta api makin saling mendekat tapi setelah kita dekati
rel kereta api itu tidak menyamung sama sekali.
Kita akan mendapat
kesulitan kalau kita mengira bahwa obyek yang kita lihat itu kita tafsirkan
begitu saja. Kita akan sering tertipu. Hal yang sebenarnya adalah demikian, ada
dua hal yang terjadi pada waktu kita melihat suatu benda yaitu pertama kita
menagkap data dan kita mengetaui bendanya, misal kita melihat pohon yaitu
bentuknya, warnanya, daunnya, dan sebagainya, lalu akal kita mengetahui adanya
pohon itu. Jadi benda memberikan datanya kepada pancaindra kita, kemudian akal
menangkap data tersebut dari pancaindra kita, lalu membentuknya menjadi
pengetahuan tentang obyeknya.
4)
Skeptisme
Kaum Skeptisme berpendapat
bahwa kita dapat mengenal kebenaran suatu obyek, namun kita hanya menangkap
data saja, dengan kata lain kita tidak dapat mengetahui bahwa kita mempunyai
suatu pengetahuan.
Skeptisme adalah akibat
dari kekacauan jiwa, karena kekacauan itu, orang menjadi banyak putus asa,
orang menjadi tidak percaya adanya kebenaran, keadilan, kesusilaan, dsb, dalam keadaan tiada kepastian seperti segala
kekacauan orang lalu mudah terjun ke hal-hal yang praktis.[8]
D.
Norma-norma Kebenaran
Apabila pendapat yang kita
katakan itu benar, maka kita perlu mengukurnya lagi kebenaran itu. Dengan
alasan supaya kebenaran itu kita pastikan.
Ada beberapa cara kita mendapatkan suatu kebenaran
antara lain yaitu:
1.
Kita diberitahu oleh orang lain yang kita anggap mengerti tentang
kebenaran itu. Misalnya: kita belajar sejarah, tapi dari membaca tulisan ahli
sejarah.
2.
Kita dapat menyaksikan sendiri kebenaran itu dengan mengadakan penelitian
atau percobaan, misalnya kita belajar ilmu kimia, kita mencoba sendiri dilaboratorium,
cara ini adalah langsung, kepastian yang diperoleh cara ini disebut kepastian
batin.[9]
Bedasarkan coraknya kepastian dapat kita bedakan
menjadi tiga:
a.
Kepastian methapisis
Kepastian ini adalah
berdasar pada halnya apabila dibalikterjadi kemustahilan
Misalnya: Bapak adalah lebih tua dari anaknya.
b.
Kepastian fisis
Kepastian ini diperoleh
dari pengalaman, kbalikan dari hal ini adalah salah tetapi tidak mustahil.
Misalnya: “Orang itu sakit,” kalau dibalik “orang
itu tidak sakit” ini salah tetapi tidak mustahil.
c.
Kepastian moril
Kepastian ini diperoleh
dari dalil psychologis atau kesusilaan.
Misalnya: Para ibu menyayangi anak mereka.[10]
IV.
KESIMPULAN
Logika materiil merupakan sebuah
ilmu penalaran yang harus dicari kebenaran-kebenaran pada premis atau objek terlebih
dahulu sebelum mengambil keputusan.
Apabila kita berpikir
tentu ada obyek yang dipikirkan, setelah obyek itu dipikirkan maka disimpan
sebagai pengetahuan. Dengan pengetahuan yang baru kita peroleh ini kita
memiliki obyek baru lagi dan kita akan mendapat pengetahuan yang lebih baru
lagi.
proses pengenalan dan
penangkapan suatu obyek itu bertingkat-tingkat mulai dari keadaan tidak tahu
sama sekali, kebimbangan, mengira-ngira, menduga, pendapat., keyakinan, kepastian.
Beberapa aliran filsafat
yang cukup berpengaruh: Rasionalisme, Impirisme, Realisme, Skeptisme
Ada beberapa cara kita
mendapatkan suatu kebenaran antara lain yaitu: Kita diberitahu oleh orang lain
yang kita anggap mengerti tentang kebenaran itu. Misalnya: kita belajar
sejarah, tapi dari membaca tulisan ahli sejarah. Kita dapat menyaksikan sendiri
kebenaran itu dengan mengadakan penelitian atau percobaan, misalnya kita
belajar ilmu kimia, kita mencoba sendiri dilaboratorium, cara ini adalah
langsung, kepastian yang diperoleh cara ini disebut kepastian batin. Bedasarkan
coraknya kepastian dapat kita bedakan menjadi tiga: Kepastian methapisis,
kepastian fisis, kepastian moril
V.
PENUTUP
Demikianlah uraian
yang dapat Penulis sampaikan dalam makalah ini. Sebagai manusia biasa,
tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari Para Pembaca
sangat Penulis nantikan demi kesempurnaan makalah dimasa yang akan datang.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi Pembaca pada
umumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Arif, Oesman, Ilmu Logika Cet. II, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1982.
Bertens, K., Sejarah
Filsafat Yunani, Yogyakarta: Yayasan Kanisius Yogyakarta, 1975.
Huda, Nuril, Logika Praktis - Jilid 1 Malang: “Almamater”
YPTP IKIP Malang, 1974.
Muhajir, Noeng, Logika Formil dan Logika Matematika,
Yogyakarta: “RAKE Press”, 1976.
Vloemans A., dkk, Logika,
Jakarta: Erlangga, 1967.
[1] Drs. Oesman
Arif, Ilmu Logika Cet. II, ( Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1982 ), hlm. 52
[3] A. Vloemans
dkk, Logika, ( Jakarta: Erlangga, 1967 ), hlm. 67
[4] Evidensi adalah
cocok dengan kenyataan, Drs. Oesman Arif, Op. cit., hlm. 54
[5] Drs. Nuril
Huda, Logika Praktis- Jilid 1 ( Malang: “Almamater” YPTP IKIP Malang,
1974 ), hlm. 78
[6] Drs, Noeng
Muhajir, Logika Formil dan Logika Matematika, (Yogyakarta: “RAKE Press”,
1976), hlm. 70
[7] Dr, K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, ( Yogyakarta: Yayasan
Kanisius Yogyakarta, 1975 ), hlm. 85
[9]
A. Vloemans
dkk, Op. cit., hlm. 68-69
[10]
Drs. Oesman
Arif, Op.cit., hlm. 59-60