Rabu, 06 Juni 2012

masuknya hindu di Jawa


MASUK DAN PENGARUH
 HINDU DI JAWA

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : Jauharotul Farida, Dra. Hj., M.A

 








Disusun Oleh:

Akhmad Basar                                                ( 111 111 075 )





FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
2012




MASUK DAN PENGARUH
 HINDU DI JAWA

I.                   PENDAHULUAN
Bismillahirrahmanirrahim, dengan kalimat inilah semua kehidupan itu berawal. Tanpa kalimat ini, semuanya tidak menjadi bermakna. Apalah arti kehidupan ini jika tidak dipersembahkan bagi Dia yang Maha Pencipta. Baginya, kehidupan ini tidak berakhir pada kematian seorang manusia, tetapi dari generasi ke generasi, kehidupan ini terus berjalan hingga pada detik terakhir dimana kehidupan ini akan berakhir. Mulai dari titik inilah ilmu sejarah itu lahir.[1] Dalam makalah ini ingin menuturkan sejarah tentang masuknya agama Hindu di Jawa.
Masyarakat Jawa, atau tepatnya suku bangsa Jawa secara antropologi budaya adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa jawa dengan berbagai ragam dialeknya secara turun-temurun. Masyarakat jawa adalah mereka yang bertempat tinggal di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Surakarta (Solo) dan Yogyakarta yang merupakan dua bekas kerajaan Mataram pada sekitar abad ke 16 adalah pusat dari kebudayaan Jawa. Keduanya adalah tempat kerajaan terakhir dari pemerintahan raja-raja Jawa.[2] Masyarakat Jawa itu terkenal dengan ajaran Animisme dan Dinamismenya pertanyaannya, apakah kepercayaan Animisme dan Dinamisme itu bisa dikatakan sebagai Agama Hindu? Kalo tidak, dimana titik perbedaannya? Dan apakah sebelum Agama Hindu masuk ke Jawa itu masyarakat jawa sudah memiliki kepercayaan lain? Bagaimanakah proses masuknya Agama Hindu di Jawa? Serta terangkan kronologi hancurnya agama Hindu di Jawa? Setelah Agama hindu itu hancur, apakah pengaruh dari Agama Hindu ini masih terbawa oleh masyarakat Jawa saat ini?  itulah yang akan kami bahas pada makalah ini.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Seperti apa budaya masyarakat Jawa pra Hindu?
B.     Bagaimana sejarah singkat masuknya agama Hindu di Jawa?
C.     Apakah pengaruh ajaran Hindu masih terbawa pada masa-masa sekarang?

III.             PEMBAHASAN
A.     Budaya Masyarakat Jawa Pra Hindu
Masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah tradisi maupun agama. Hal ini dapat dilihat pada cici-ciri masyarakat Jawa secara kekerabatan.
Sistem hidup kekeluargaan di Jawa Tergambar dalam kekerabatan masyarakat Jawa. Kata “Kekerabatan”, istilah ini itu masih sangat berlaku hingga saat ini, dalam sistem musyawarah adat desa yang di sebut Rembug Desa atau gotong royong, saling menolong itu selalu dilakukan oleh orang-orang Jawa saat membuat pondasi rumah, pengolahan tanah pertanian sampai waktu panen dan lain-lain.[3]
Suku bangsa Jawa sejak masa prasejarah telah memiliki kepercayaan yaitu Animisme dan Dinamisme.
a.      Kepercayaan Animisme Jawa
Animisme sebagai faham jiwa atau teori jiwa pertama dikemukakan oleh Sarjana Inggris, Edward Burnet Tylor (1832-1917 SM.) dalam bukunya Primitif Chultures. Menurutnya “ Asal mula agama adalah kesadaran akan adanya ruh atau jiwa.” Harun Nasution mengemukakan bahwa kepercayaan animisme merupakan kelanjutan dari dinamisme. Dinamisme lebih dulu dari pada animisme. Dengan kata lain, dinamisme meningkat menjadi animisme.[4]
Animisme atau animisma (Latin) berarti “Jiwa” atau faham keagamaan pada manusia primitif yang mempercayai adanya ruh. Pada dasarnya ada dua bentuk penyembahan ruh pada masyarakat animis. Pertama, penyembahan ruh yang keluar dari orang mati. Kedua, penyembahan terhadap ruh atau makhluk halus yang menjadi unsur sendirinya. Contohnya: bila orang meninggal, maka ruhnya dianggap hidup lagi dan ruh tersebut dapat bertemu dengan ruh manusia yang masih hidup. Ia bisa menolong atau sebaliknya mengganggu. Dan agar ruh itu mendatangkan kebaikan, maka dibuatlah upacara penyembahan.
Ruh yang dianggap berbahaya atau memberi manfaat bagi ruh yang hidup, bukan hanya berasal dari manusia, tapi juga dari binatang, tumbuhan, batu dan benda-benda lain. Kerpercayaan ini bukan saja baru muncul dua tiga abad, tapi sudah berlaku sejak zaman pleistosen[5] kira-kira jutaan tahun silam.[6] Sejalan dengan perkembangan dan perubahan zaman, kegiatan sepiritual (batiniyah) tersebut semakin berkembang dan bervariasi.
Menurut Harun Nasution, dalam masyarakat primitif, ruh itu dianggap bisa makan, mempunyai bentuk dan berumur. Bagi orang primitif di Afrika, ruh itu musti diberi makan sebagaimana manusia hidup. Bagi penduduk Adnan, ruh itu mempunyai kaki dan tangan yang panjang-panjang tapi kecil, bisa pergi berburu, makan babi dan bernyanyi. Ruh itu mempunyai kekuatan dan kehendak, bisa merasa senang atau marah, jika ia marah maka akan membahayakan manusia. Karena itu, keridhaannya harus dicari dengan cara: memberi makan, berkorban atau mengadakan pesta-pesta khusus.[7]
Jadi dapat saya katakan bahwa Animisme itu terdapat dua pokok kepercayaan pertama, kepercayaan terhadap serba ruh atau zat ruh. Kedua, kepercayaan terhadap ruh manusia setelah mati.
b.      Kepercayaan Dinamisme Jawa
Dinamisme atau dynamisme (Yunani) dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai faham keagamaan manusia primitif dengan tingkat kebudayaannya masih rendah yang berpandangan bahwa tiap-tiap benda yang berada disekelilingnya itu mempunyai kekutan mistis.[8]
Masyarakat Jawa mempercayai bahwa apa yang telah mereka bangun adalah hasil dari adaptasi pergulatan dengan alam. Kekuatan alam disadari merupakan penentuan dari kehidupan seluruhnya. Keberhasilan pertanian tergantung dari kekutan alam, matahari, hujan, angin,dan hama, tetapi mereka masih mempercayai kekuatan adikodrati dibalik semua kekuatan alam ini. Selanjutnya sebagai sisa peninggalan masa lalu adalah melakukan tindakan keagamaan dengan berusaha untuk menambah kekuatan batin agar dapat mempengaruhi kekuatan alam semesta atau Jagad gede. Hal ini dilaksanakan agar semua kekuatan alam yang akan mempengaruhi kehidupan diri dan keluarganya dapat dikalahkan.
Usaha ini ditempuh dengan jalan laku prihatin yaitu merasakan perih ing batin dengan cara cegah dahar lawan guling (mencegah makan dan mengurangi tidur), dan lain-lain. Untuk menambah kekuatan batin itu sendiri dilakuakan pula dengan cara menggunakan benda-benda yang berkekuatan gaib yang disebut  jimat, yakni berupa keris, tombak, batu akik, kuku macan, dan lain-lain tidakan keagamaan tersebut adalah kepercayaan pada zaman dinamisme.[9]

B.     Sejarah Singkat Masuknya Agama Hindu di Jawa
Sejarah mencatat bahwa masuknya agama Hindu di Jawa itu dari India. Sebelum awal abad ke-19, Raffles[10] mengangkat indianisasi menjadi topik yang menarik dengan mengkaitkan antara Jawa dengan India. Kemudian gagasan ini dilanjutkan oleh para peneliti Belanda yaitu: J.L.A. Brandes (1957-1905), H. Kern (1833-1917), N.J. Korm (1883-1945), dan W.F. Stutterheim (1892-1942). Mereka semua berjasa dalam menginterpretasikan masa lampau Jawa berdasarkan tentang India kuno.[11]
Pertama, asal-usul suku bangsa Jawa yang dijelaskan oleh C.C. Berg dalam bentuk legenda tentang seorang yang bernama Aji Saka. Ia dikisahkan sebagai seorang pemuda putra Brahmana yang bersal dari tanah India. Aji Saka datang ke tanah Jawa, dan mendapatkan sebuah negeri dengan nama Medangkamulan, yang saat ini itu berada di daerah Grobogan, Purwodadi. Negeri ini dikuasai oleh seorang raja pemakan daging manusia yang bernama Dewatacengkar. Aji Saka menawarkan diri menjadi makanan raja dengan syarat ia akan menerima satu bidang tanah seluas destarnya sebagai ganti, tetapi ia terkejut karena destar milik Aji Saka itu semakin lama semakin lebar dan panjang, hingga akhirnya menutupi seluruh wilayah kerajaannya. Ia menerima kekalahannya dengan mengundurkan diri, serta menyerahkan kekuasaannya kepada Aji Saka pada tahun 78 Masehi.
Menurut C.C. Berg legenda di atas itu menjadi simbolisme atau lambang yang dipergunakan oleh nenek moyang orang Jawa untuk memudahkan ingatan perhitungan awal tarikh Jawa yaitu Tarikh Saka. Hitungan ini diawali dengan runtuhnya kepercayaan Animisme karena masuknya pengaruh Hindu di Jawa.[12]
Kelanjutan dari hal tersebut bahwa banyak nama tempat di pulau Jawa yang berasal dari bahasa sangsekerta, sehingga kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa banyak yang namanya dipinjam dari Mahabarata., kerajaan Majapahit, Mataram itu salah satunya, kerajaan tersebut merupakan kerajaan Hindu yang terbesar di Jawa, demikian pula relief-relief candi di pulau Jawa., candi prambanan, dan lain-lain.
Tak lama kemudian di Jawa masuklah agama Budha karena ajaran Budha tidak mengenal adanya sistem kasta, sedangkan agama Hindu menagajarkan sistem pelapisan masyarakat yang terkenal disebut “Kasta” (Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra). Akhirnya banyak masyarakat Jawa berpindah ke agama ini, dan inilah masa-masa agama hindu mulai memudar. sebenarnya ajarannya itu hampir mirip dengan ajaran agama Hindu cuma perbedaannya itu pada kitabnya kalau Hindu itu kitab sucinya namanya “Weda, Brahmana, Upanisad” sedangkan kitab suci Budha itu namanya “Tripitaka”. Selain itu juga terdapat perbedaan pada relief candi-candinya.



C.     Pengaruh Agama Hindu
Setelah begitu banyaknya kepercayaan-kepercayaan yang datang di masyarakat Jawa akhirnya masyarakat Jawa memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam menangani ini semua, makanya tidak salah sampai saat ini masyarakat Jawa masih memiliki keyakinan keanimismean, kedinamismean dan kehinduan. Sebenarnya pengaruh dari ajaran itu semua masih banyak yang digunakan oleh masyarakat Jawa, khususnya pada masyarakat Jawa pedesaaan masih banyak yang percaya tentang adanya kekuatan mistis pada benda-benda tertentu, masih percaya pada dewa, dewi dan lain sebagainya.
Sampai sekarang yang masih bisa kita jumpai itu upacara setelah kematian seseorang dari 3 hari, 7 hari, dan seterusnya. Tapi itu semua telah diakulturasikan dengan ajaran-ajaran Islam oleh para Wali di Jawa. Selain itu masyarakat Jawa dalam adat pernikahan sering juga menggunakan dengan perhitungan-perhitungan tertentu inilah salah satu dari pengaruh Hindu, dalam budaya Jawa pitungan jodo (perhitungan jodoh) atau petung salaki rabi sendiri ada bermacam-macam, lebih dari sepuluh cara yang bisa dipilih sesuai dengan kemantapan hati seseorang. Ada yang berdasarkan dengan perhitungan huruf depan dan belakang kemudian dicocok kan dengan calon pasangannya berdasarkan perhitungan neptu (nilai) huruf Jawa ( Ho, No, Co, Ro, Ko, dan seterusnya). Ada yang berdasarkan perhitungan neptu hari kelahiran dan lain sebagainya[13]. Contoh: calon laki-laki bernama Hadi yang lahir pada Jum’at kliwon sedangkan calon mempelai wanitanya bernama Retno lahir selasa legi. Jika dipilih dengan perhitungan neptu huruf Jawa, maka sebagai berikut:
Ha, huruf Jawanya adalah Ho                        = 6
Di, huruf Jawanya adalah Do                         = 5
Ret, huruf Jawanya adalah Ro                        = 3
No, huruf Jawanya adalah No                        = 3, jadi bila semua dijumlahkan adalah 17, kemudian di bagi jumlah hari dalam satu minggu 17:7= 2 dan masih sisa 3, lalu dicocokkan dengan  maknanya, yaitu:
Jika sisa satu                : Tunggak Tan Semi, berarti anaknya banyak yang mati.
Jika sisa dua                : Pisang Pugel, berarti akan terjadi perceraian.
Jika sisa tiga                : Lumbung Gumiling, berarti terjadi pemborosan.
Jika sisa empat            : sanggar Waringin, berarti menjadi pengayom.
Jika sisa lima               : pedarinagn Kebak, berarti akan kaya raya.
Jika sisa enam              : Satria Lelaku, berarti bernasib baik jika berdagang.
Jika sisa tujuh              : Pandhita Mukti, berarti ketenangan, ketentraman, dan
Keselamatan.[14]

IV.             KESIMPULAN
Masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah tradisi maupun agama. Hal ini dapat dilihat pada cici-ciri masyarakat Jawa secara kekerabatan.
Dalam sistem musyawarah adat desa yang di sebut Rembug Desa atau gotong royong, saling menolong itu selalu dilakukan saat-saat membuat pondasi rumah, pengolahan tanah pertanian sampai waktu panen dan lain-lain.
Suku bangsa jawa sejak masa prasejarah telah memiliki kepercayaan yaitu Animisme dan Dinamisme.
Animisme yaitu faham keagamaan pada manusia primitif yang mempercayai adanya ruh, sedangakan Dinamisme diartikan sebagai faham keagamaan manusia primitif dengan tingkat kebudayaannya masih rendah yang berpandangan bahwa tiap-tiap benda yang berada disekelilingnya itu mempunyai kekutan mistis.
Sejarah singkat awal masuknya agama Hindu di Jawa itu mulai dari legenda Aji Saka dengan dewatacengkar yang di kemukakan oleh C.C. Berg.
 Tak lama kemudian di Indonesia masuklah agama Budha yang ajarannya itu hampir mirip dengan ajaran agama Hindu perbedaannya itu pada kitabnya kalau Hindu itu kitab sucinya namanya “Weda, Brahmana, Upanisad” sedangkan kitab suci Budha itu namanya “Tripitaka” kemudian agama Hindu juga menagajarkan sistem pelapisan masyarakat yang terkenal disebut “Kasta” (Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra) sedangkan agama Budha tidak mengajarkan sistem kasta.
Setelah begitu banyaknya kepercayaan-kepercayaan yang datang di masyarakat Jawa, akhirnya masyarakat Jawa memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam menangani ini semua, makanya tidak salah sampai saat ini masyarakat Jawa memiliki keyakinan keanimismean, dan kehinduan.
Sampai sekarang yang masih bisa kita jumpai itu upacara setelah kematian seseorang dari 3 hari, 7 hari, dan seterusnya. Tapi itu semua telah diakulturasikan dengan ajaran-ajaran Islam oleh para Wali di Jawa. Selain itu masyarakat Jawa dalam adat pernikahan sering juga menggunakan dengan perhitungan-perhitungan tertentu inilah salah satu dari pengaruh Hindu, dalam budaya Jawa pitungan jodo (perhitungan jodoh) atau petung salaki rabi sendiri ada bermacam-macam, lebih dari sepuluh cara yang bisa dipilih sesuai dengan kemantapan hati seseorang. Ada yang berdasarkan dengan perhitungan huruf depan dan belakang kemudian dicocokkan dengan calon pasangannya berdasarkan perhitungan neptu (nilai) huruf Jawa ( Ho, No, Co, Ro, Ko, dan seterusnya). Ada yang berdasarkan perhitungan neptu hari kelahiran dan lain sebagainya.

V.                PENUTUP
Demikianlah uraian yang dapat Penulis sampaikan dalam makalah ini. Sebagai manusia biasa, tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari Para Pembaca sangat Penulis nantikan demi kesempurnaan makalah dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi Pembaca pada umumnya.









DAFTAR PUSTAKA

Amin, Darori, Islam dan kebudayaan Jawa, Yogyakarta:  Gama Media, 2000
Aziz Manshur, Abdul, Menjawab Vonis Bid’ah, Jakarta: Forum Karya ilmiyah,
2010
Hsubky, Badruddin, Bid’ah-Bid’ah di Indonesia, Jakarta : Gema Insani, 2006
Koentjaraningrat,  Pengantar Antropologi, Jakarta : Gema Insani, 2001
Lombard, Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya, jilid III, Jakarta: PT. Gramedia,
1996
Nasution, Harun, Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1989
Nukman, Ilhamuddin, Life to Alive, Jogjakarta: Diva Press, 2009


[1] Ilhamuddin Nukman, Life to Alive, ( JogJakarta: Diva Press, 2009), hlm. 23
[2] Drs. H. M. Darori Amin. MA, Islam dan kebudayaan Jawa, ( Yogyakarta:  Gama Media, 2000), hlm. 3
[3] Ibid., hlm. 4-5
[4] Harun Nasution, Filsafat Agama, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1989), hlm. 28
[5] Zaman Pleistosen adalah zaman dimana kebudayaan manusia antara laki-laki dengan perempuan itu sudah mengetahui batasan-batasan, peraturan-peratuaran atau hukum-hukum yang berlaku. Promes kuilet (laki-laki dan perempuan dianggap sama),  matrilinear (Sudah mengetahui  batasan tapi belum ada peraturan), baru Pleistosen  tokoh yang mengemukakannya ialah JJ. Bachofen .Lihat, Koentjaraningrat,  Pengantar Antropologi, ( Jakarta : Gema Insani, 2001), hlm. 73
[6] Ibid.
[7] Drs. KH. Badruddin Hsubky, Bid’ah-Bid’ah diIndonesia, ( Jakarta : Gema Insani, 2006), hlm. 60-62
[8] Harun Nasution, Op.cit., hlm. 23
[9] Drs. H. M. Darori Amin. MA, Op.cit., hlm. 9-10
[10] Raffles yaitu seorang peneliti dari eropa, ia pernah menemukan bunga Raflesia di tanah  Sumatra, lihat Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, jilid III, ( Jakarta: PT. Gramedia, 1996 ), hlm. 7
[11] Ibid.,
[12] Drs. H. M. Darori Amin. MA, Op.cit., hlm. 10-12
[13] KH. Abdul Aziz Manshur, Menjawab Vonis Bid’ah, ( Jakarta: Forum Karya ilmiyah: 2010 ), hlm. 324-327.
[14] Ibid., hlm. 328

Tidak ada komentar:

Posting Komentar