ALIRAN MU’TAZILAH
I.
PENDAHULUAN
Setelah terjadinya proses
Arbitrase (Takhkim) akhirnya menimbulkan
banyak aliran-aliran theologi dalam Islam, persoalan-persoalan ini di
latarbelakangi oleh persoalan politik yang kemudian menimbulkan
persoalan-persoalan dan pertanyaan-pertanyaan baru, yaitu pertanyaan tentang
seputar status ke-Islaman bagi orang-orang yang terlibat dalam arbitrase
(takhkim) tersebut siapakah diantara mereka yang masih Islam ataukah yang telah
murtad. Akhirnya menjadikan perdebatan yang berkepanjangan dan lahirnya
perbedaan-perbedaan pendapat tentang menjawab ini semua. Aliran Mu’tazilah ini
merupkan salah satu dari aliran-aliran tersebut, aliran Mu’tazilah adalah aliran
pikiran Islam yang terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan yang
sangat penting, pertanyaanya darimana lahirnya Aliran MU’tazilah ini? Siapakah
tokoh yang pertama kali memproklamirnya? Mengapa aliran ini lahir? Apa
alasannya? untuk menganggapi itu semua akan kami bahas dalam makalah ini, dan pertanyaan-pertanyaan
selanjutnya semua telah kami rangkum dalam rumusan masalah kami yang
diantaranya sebagai berikut;
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Bagaimana Sejarah Timbulnya Aliran Mu’tazilah?
B.
Bagaimana dengan pokok-pokok ajarannya?
C.
Apa saja sekte/madzhab pokok-pokok ajaran masing-masing?
D.
Bagaimana pengaruh infiltrasi theologi Mu’tazilah terhadap organisasi
Islam kontemporer?
III.
PEMBAHASAN
A.
Sejarah timbulnya
aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah itu
dulunya satu jalan atau satu pendapat dengan aliran Khawarij, tapi lambat laun dengan berjalannya
waktu aliran Khawarij ini terpecah menjadi menjadi beberapa sekte. Terkait
dengan konsep pertanyaan awal yaitu tentang siapa yang kafir dan siapa yang
masih Islam? Aliran Mu’tazilah ini lahir dalam dunia theologi Islam dan menjadi
aliran baru (sudah tidak lagi sependapat dengan aliran Khawarij) itu urutan
ke-tiga setelah aliran Murji’ah.
Dalam sub bab ini kami
akan menyajikan dua sub judul antara lain yaitu:
a.
Asal-usul nama Mu’tazilah
Secara harfiah nama
Mu’tazilah itu adalah berasal dari I’tazala yang
berarti berpisah, jadi Aliran Mu’tazilah (memisahkan diri).[1] Nama “Mu’tazilah” bukan ciptaan dari
golongan Mu’tazilah itu sendiri, tetapi diberikan oleh orang lain. Karena orang
Mu’tazilah terdahulu sering berpendapat atau menamakan dirinya itu dengan
sebutan “Ahli Keadilan dan Keesaan” (ahli adli wa at-tauhid). Nama “Mu’tazilah”
itu diberikan karena:
1.
Orang-orang Mu’tazilah menyalahi pendapat sebagian besar umat, karena
mereka (orang Mu’tazilah) menjauhkan diri dari semua pendapat yang telah ada
tentang hukum orang yang mengerjakan dosa besar. Faham Murji’ah berpendapat
bahwa pembuat dosa besar termasuk orang mu’min, sedangkan menurut Khawarij
Azariqah ia termasuk orang kafir. Dan menurut Hasan al Basri ia menjadi orang
munafik, kemudian Wasil bin ‘Atha berpendapat ia bukan mu’min, dan bukan kafir
tetapi fasik.
2.
Abu Huzdaifah Wasil bin Atha’ al-Ghazali, pendiri aliran Mu’tazilah, berbeda
pendapat dengan gurunya, yaitu Hasan Basri dalam soal tersebut, yang karenanya ia
memisahkan diri dari pelajaran yang diadakan gurunya dan berdiri sendiri. Aliran
ini lahir pada masa Abdul Malik bin Marwan, kemudian mendapat pengikut banyak.
Kemudian Hasan Basri berkata: “Wasil telah memisahkan diri dari kami”. Sejak
saat itu maka Wasil dan teman-temannya disebut “golongan yang memisahkan diri”
(Mu’tazilah).
3.
Ahmad Amin dalam bukunya (fajar Islam 1/344) berpendapat bahwa
yang mula-mula memberikan nama “Mu’tazilah” adalah orang-orang Yahudi.
Seperti diketahui, sepulang mereka (orang Mu’tazilah) dari tawanan di Siria
(perang Meccabea melawan Antiochus IV, raja Siria, abad empat atau ke-tiga
sebelum lahirnya Nabi Isa) timbullah diantara mereka golongan Yahudi “PHARISEE”
yang artinya “Memisahkan diri” (dari bahasa Ibrani, parash: to separate),
maksud sebutan ini tepat sekali dipakai untuk orang-orang Mu’tazilah. Selain
itu pendapat golongan Yahudi Pharisee mirip denga aliran Mu’tazilah, yaitu
bahwa semua perbuatan bukan Tuhan yang mengadakannya,
Akan tetapi pendapat yang
terakhir ini kurang tepat, karena motif berdirinya orang Pharisee berlainan
dengan motif pendirinya golongan Mu’tazilah.[2]
b.
Suasana lahirnya Mu’tazilah
Sejak Islam Meluas,
banyaklah bangsa-bangsa yang masuk Islam untuk hidup di bawah naungannya. Akan
tetapi tidak semuanya memeluk dengan segala keikhlasan, ini di mulai sejak
zaman Mu’awiyah karena mereka telah memonopoli segala kekuasaan pada bangsa
Arab sendiri. Tindakan ini menimbulkan kebencian terhadap bangsa Arab dan
berkeinginan untuk menghancurkan Islam dari dalam.
Diantara musuh-musuhnya
dari dalam yaitu: golongan Rafidlah,[3]
dalam keadaan yang demikian
muncullah golongan Mu’tazilah yang berkembang dengan pesatnya aliran ini
Mu’tazilah lahir di kota Basrah (Irak), pusat ilmu dan peradaban Islam kala itu, tempat perpaduan
aneka kebudayaan asing dan pertemuan berbagai agama.
Golongan-golongan yang mempengaruhi aliran Mu’tazilah antara lain:
orang-orang Yahudi (misalnya dalam soal baharunya Qur’an) dan orang-orang
masehi, seperti Saint John of Damascus (676-749) yang terkenal dengan nama Ibnu
Sarjun, Tsabit Qurah (836-901) murid John.
Dari John of Damascus diambil teori yang mengatakan bahwa, Tuhan adalah
zat yang baik, menjadi sumber segala kebaikan dan tidak dapat mengerjakan
keburukan.
Dari Tsabit Qurah diambil teori pemujaan akal; dengan akal pikiran
semata-mata manusia dapat megetahui adanya Tuhan; dengan akal pikirannya pula
dapat mengetahui baik dan buruk dan dari Tsabit pula diambil cara-cara
pembenaran agama dengan alsan-alasan fikiran.[4]
Orang-oarang Mu’tazilah
dengan giatnya mempelajari filsafat Yunani untuk mempertahankan
pendapat-pendapatnya dan ajaran-ajaran Islam.
B.
Pokok-pokok ajaran
Mu’tazilah
Orang-orang Mu’tazilah
harus memegangi lima prinsip dasar utama antara lain yaitu:
a.
Tauhid (pengesaan)
Tauhid adalah dasar Islam
pertama dan yang paling utama. Sebenarnya tauhid ini bukan milik khusus
golongan Mu’tazilah, tetapi karena mereka menafsirkannya sedemikian rupa dan
mempertahankannya dengan sungguh-sungguh maka mereka terkenal sebagai ahli
Tauhid.
Al-asy’ary menyebutkan
tafsiran mereka sebagai berikut:
“Tuhan itu Esa, tidak ada yang menyamainya, bukan
benda (Jisism), bukan orang (Syakhs) bukan Jauhar, bukan pula aradi…..tidak
berlaku padanya masa. . . .tidak mungkin mengambil tempat (ruang), tidak bisa
disifati dengan sifat-sifat yang ada pada makhluk yang menunjukan
ketidak-azali-annya……tidak dapat dicapai pancaindra……tidak dapat dilihat mata
kepala dan tidak bisa digambarkan akal fikiran…..ia maha mengetahui, berkuasa
dan hidup, tetapi tidak seperti orang yang mengetahui, yang berkuasa dan orang
yang hidup…..hanya ia sendiri yang qadim, tidak ada yang lain, tidak ada yang
menolongnya dalam menciptakan apa yang diciptakannya dan tidak membikin makhluk
karena contoh yang telah ada terlebih dahulu.”
b.
Al-adl (keadilan)
Dasar keadilan ialah
meletakkan partanggung jawaban manusia atas segala perbuatannya.
Golongan Mu’tazilah
menafsirkan keadilan tersebut sebagai berikut:
“Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak
mencipta perbuatan manusia, manusia bisa mengerjakan perintah-perintah-Nya dan
meninggalkan larangan-larangan-Nya, karena qodrat (kekuasaan) yang dijadikan
Tuhan pada diri mereka. Ia tidak memerintah kecuali apa yang dikehendakiNya dan
tidak melarang kecuali apa yang dilarangNya. Ia hanya menguasai
kebaikan-kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak tahu menahu (bebas)
dari keburukan-keburukan yang
dilarang-Nya”.[5] Yang
mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang
dari Allah, sedangkan. Dalilnya kejelekan datang dari makhluk dan di luar
kehendak Allah karena Allah telah berfirman dalam al-Qur’an (QS, Al-Baqarah:
205)
4ع................Ótëy™’¯<uqs?#sŒÎ)ur
4
Artinya:
“Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205) dan dilanjutkan
dalam (QS, Az-Zumar:7)
ع،.‘‘.......................
(4
Í
tøÿä3ø9$#nÏŠ$t7ÏèÏ9ÓyÌötƒwur.................
Artinya:
“Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya”. (Az-Zumar:7).[6]
c.
Wa’d wal wa’id (janji ancaman)
Prinsip ini adalah
kelanjutan prinsip keadilan yang harus ada pada Tuhan. Golongan Mu’tazilah yakin
bahwa janji Tuhan akan memberikan pahala dan ancaman-Nya akan menjatuhkan siksa
atau neraka pasti dilaksanakan. Karena Tuhan sudah menjanjikan demikian. “Siapa
yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan dan siapa yang berbuat jahat
akan dibalas dengan kejahatan pula”. Tidak ada pengampunan terhadap dosa
besar tanpa taubat,
d.
Al-manzilah baina al-manzilatain (tempat diantara dua tempat)
Prinsip ini sangat penting
yang karenanya Washil bin Atha’ memisahkan diri dari gurunya Hasan Basri. Wasil
memutuskan bahwa orang yang berbuat dosa besar selain syirik. Tidak mukmin
tidak kafir, tetapi fasik, jadi kefasikan adalah suatu hal yang berdiri sendiri
antara iman dan kafir.[7]
e.
Amar ma’ruf nahi munkar (perintah kebaikan dan melarang kejahatan)
Prinsip ini lebih banyak
berhubungan dengan taklif dan lapangan fiqih daripada lapangan kepercayaan atau
tauhid. Banyak ayat-ayat Qur’an yang memuat prinsip ini, antara lain Surat Ali
Imran ayat 104 dan Lukman ayat 17. Prinsip ini harus dijalankan oleh setiap
orang Islam untuk penyiaran agama dan memberi petunjuk kepada orang-orang yang
sesat.[8]
C.
Sekte/Madzhab dari
ajaran Mu’tazilah
Dalam sekte Mu’tazilah
terdapat beberapa sekte antara lain yaitu:
1)
Sekte Huzail
Pemimpinnya adalah Abul-Huzail al-Allaf (135 H-235
H atau 751-849 M). ia memimpin di Basrah, karena dialah aliran Mu’tazilah
mengalami kepesatan, pendapatnya antara lain:
Ø Tentang aradl; Dinamakan aradl bukan karena
mendatang pada benda-benda, karena banyak aradl yang terdapat bukan pada benda,
seperti waktu, abadi dan hancur. Ada aradl yang abadi dan ada yang tidak abadi.
Ø Menetapkan adanya bagian-bagian yang tidak dapat
dibagi-bagi (atom).
Ø Gerak dan diam; benda yang banyak bagian-bagiannya
bisa bergerak dengan satu bagian yang bergerak. Menurut mutakalimin, hanya
bagian itu sendiri yang bergerak.
Ø Hakekat manusia; hakekatnya adalah badannya, bukan
jiwanya (nafs atau rukh)
Ø Gerak penghuni Sorga dan Neraka; Gerak-gerik mereka
akan akan berakhir dan menjadi ketenangan (diam), didalam ketenangan ini
terkumpul semua kesenangan dan siksaan.
Ø Qadar; manusia bisa mengadakan
perbuatan-perbuatannya di dunia, akan tetapi kalau sudah berada di akhirat
tidak berkuasa lagi.
Ø Khabar tentang sesuatu yang dapat dicapai
pancaindera hanya bisa diterima apabila diberitakan oleh 20 orang
sekurang-kurangnya, seorang diantaranya dari ahli sorga (maksudnya golongan
Mu’tazilah).[9]
2)
Sekte Nazzam
Sekte ini pemimpinnya
adalah Ibrahim bin Sayyar (wafat 231 H/ 845 M), murid dari Abul Huzail al-Allaf,
ketika ia kecil ia banyak bergaul dengan orang-orang bukan dari golongan Islam
dan sesudah dewasa banyak berhubungan dengan filosof-filosof masanya,
pendapatnya antara lain:
Ø Tentang benda (Jisim); Selain gerak, semua yang ada
disebut jisim, termasuk warna, bau dsb.
Ø Tidak mengakui adanya bagian yang tidak dapat
dibagi-bagi. Ia mengatakan bahwa sesuatu bagian bagaimanapun kecilnya dapat
dibagi-bagi.
Ø Berita yang benar ialah berita yang diriwayatkan
oleh imam yang ma’sum
Ø I’jaz Qur-an (daya pelemah) terletak dalam
pemberitaan hal-hal yang gaib.[10]
3)
Sekte Jahiz
Sekte ini dipimpin oleh
Amr bin Bahr (wafat 255 H/840 M), ia terkenal tajam penanya, banyak karangannya
dan gemar membaca buu-buku filsafat, terutama filsafat alam.
Karangan-karangannya yang masih ada hanyalah yang bertalian dengan
kesusasteraan.[11]
4)
Sekte Jubba’i
Sekte ini dipimpin oleh
Al-Juba’I (wafat 303 H), ia guru imam Al Asy’ari (tokoh Ahli Sunnah).
5)
Sekte Mu’tamir
Sekte ini dipimpin oleh
Bisyr bin Al Mu’tamir (wafat 226 H), ia pelopor aliran Mu’tazilah di Bagdad.
Bukunya “Al Bayan Wat Tabyin” sehingga menimbulkan dugaan bahwa ia adalah orang
yang pertama-tama mengdakan ilmu Balagah.
6)
Sekte Az Zamahsyari
Sekte ini dipimpin oleh
az-Zamahsyari (467-538 H), ia menjadi tokoh dalam ilmu tafsir, nahwu, dan
paramasastra seperti yang bisa dilihat dalam tafsirnya “Al Kasysyaf”.[12]
D.
Infiltrasi theologi
Mu’tazilah terhadap organisasi Islam kontemporer
Beberapa cendekiawan
modernis telah mengidentifikasikan diri mereka secara terang-terangan sebagai
seorang Mu’tazilah. Harun Nasution merupakan salah satu dari orang yang
mengidentifikasikan dirinya dengan Mu’tazilah di era modern ini. Meskipun
banyak orang muslim yang mengkritik Islam tradisionalis telah mengambil
aspek-aspek tertentu dari mu’tazilah khususnya penekanan terhadap rasionalis.
Tetapi hal tersebut tidak jelas ketika dibuktikan hal ini memberikan kesan bahwa alran Mu’tazilisme
bukan lagi berfungsi sebagai sumber utama doktrin untuk membagi sebuah argumen
dalam melawan tradisionalisme. Tapi lebih sebagai simbol keinginan untuk
menjadi islam di tengah dunia modern dan plural, di Indonesia merupakan salah
satu negara plural.[13]
Contoh: Di kalangan NU, yang diusung adalah gerakan
kultural; bukan Indonesia yang Islami, tapi Islam yang Indonesiawi.
Dengan demikian, orang dibebaskan untuk menafsirkan Islam sesuai latar belakang
kulturalnya masing-masing. Ini adalah salah satu wajah pluralisme.
Adapun di kalangan warga Muhammadiyah, isu yang dijual adalah progresifitas,
penafsiran Islam sesuai jaman dan pembaharuan (tajdid).
Istilah-istilah seperti ini umumnya tidak bermasalah, hanya saja penggunaannya
memang problematis. Sebagai contoh, jika ‘sesuai jaman’ artinya ajaran
Islam berbuah sesuai selera manusia pada jamannya, maka ini adalah sebuah
penyimpangan.[14]
IV.
KESIMPULAN
Aliran Mu’tazilah itu
dulunya satu pendapat dengan aliran
Khawarij, tapi lambat laun dengan berjalannya waktu aliran Khawarij ini terpecah
menjadi menjadi beberapa sekte. Aliran Mu’tazilah ini lahir dalam dunia
theologi Islam dan menjadi aliran baru itu urutan ke-tiga setelah aliran
Murji’ah. Nama “Mu’tazilah” bukan ciptaan dari golongan Mu’tazilah itu
sendiri, tetapi diberikan oleh orang lain. Karena orang Mu’tazilah terdahulu
sering berpendapat atau menamakan dirinya itu dengan sebutan “Ahli Keadilan dan
Keesaan” (ahli adli wa at-tauhid). Wasil bin Ata’, adalah seorang pendiri
aliran Mu’tazilah.
Orang-orang Mu’tazilah
harus memegangi lima prinsip dasar utama antara lain yaitu: (1) Tauhid
(pengesaan), (2) Al-adl (keadilan), (3) Wa’d wal wa’id (janji
ancaman), (4) Al-manzilah baina al-manzilatain (tempat diantara dua
tempat), (5) Amar ma’ruf nahi munkar (perintah kebaikan dan melarang
kejahatan).
Dalam sekte Mu’tazilah
terdapat beberapa sekte antara lain yaitu: 1) Sekte Huzail, 2) Sekte Nazzam, 3)
Sekte Jahiz, 4) Sekte Jubba’I, 5) Sekte Mu’tamir, 6) Sekte Az ZamahSyari.
Harun Nasution merupakan
salah satu dari orang yang mengidentifikasikan dirinya dengan Mu’tazilah di era
modern ini. Meskipun banyak orang muslim yang mengkritik islam tradisionalis
telah mengambil aspek-aspek tertentu dari mu’tazilah khususnya penekanan
terhadap rasionalis. Tetapi hal tersebut tidak jelas ketika dibuktikan hal
ini memberikan kesan bahwa aliran
Mu’tazilisme bukan lagi berfungsi sebagai sumber utama doktrin untuk membagi
sebuah argumen dalam melawan tradisionalisme. Tapi lebih sebagai simbol
keinginan untuk menjadi islam di tengah dunia modern dan plural.
V.
PENUTUP
Demikianlah uraian
yang dapat Penulis sampaikan dalam makalah ini. Sebagai manusia biasa,
tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari Para Pembaca
sangat Penulis nantikan demi kesempurnaan makalah dimasa yang akan datang.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi Pembaca pada
umumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Hanafi, A., Theology Islam (Ilmu
Kalam), Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Nasution, Harun, Teologi Islam,
Jakarta: UI-Press, 1986.
, Teologi
Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: Widjaya, 1999.
Martin, Richard C. dkk., Post
Mu’tazilah, Yogyakarta: IRCISoD, 2002.
Romas, A. Ghofir, Ilmu Tauhid,
Semarang: Badan Penerbit Fakultas Dakwah
IAIN Walisongo Semarang, 1997.
http://islam-kucinta.blogspot.com/2010/10/infiltrasi.html.
http://www.salafyoon.net/manhaj/mu-tazilah.html.
http://24wahyu.multiply.com/reviews/item/6?&show_interstitial=1&u=%2Frevie
ws%2Fitem.
[1] http://24wahyu.multiply.com/reviews/item/6?&show_interstitial=1&u=%2Freviews%2Fitem
diapload pada Januari
4, 2009 oleh Akmal Ismail.
[2]
A. Hanafi M.A.,
Theology Islam (Ilmu Kalam), ( Jakarta: Bulan Bintang, 1979 ), hlm.
44-45
[3]
Golongan
Rafidlah adalah golongan Syiah ekstrim
yang banyak mempunyai unsur-unsur kepercayaan yang jauh sama sekali dari ajaran
Islam, seperti: kepercayaan mani dan
golongan spectic yang pada waktu itu tersebar luas di kota-kota Kufah dan
Basrah, lihat pada A. Hanafi M.A., Ibid., hlm. 46
[5]
Harun Nasution,
Teologi Islam, ( Jakarta: UI-Press, 1986 ), hlm. 43
[6] http://www.salafyoon.net/manhaj/mu-tazilah.html diapload pada hari
Rabu, tanggal Mei 2007 oleh
Kholid bin Syamhudi
[7]
Dr. Harun
Nasution, Teologi Islam (Ilmu Kalam), ( Jakarta: Widjaya, 1999 ), hlm. 103
[12]
Drs. A. Ghofir
Romas, Ilmu Tauhid, ( Semarang: Badan Penerbit Fakultas Dakwah IAIN
Walisongo Semarang, 1997 ), hlm. 93-94.
[13]
Richard C.
Martin dkk., Post Mu’tazilah, ( Yogyakarta: IRCISoD, 2002 ), hlm. 391
How to Make Money From Gambling - Worktomakemoney
BalasHapusHow to kadangpintar Make Money From Gambling หาเงินออนไลน์ Online febcasino
Casino Site - LuckyClub Live
BalasHapusCasino Site. Play all your favourite slots online and start winning! Every slot machine you luckyclub try will be a part of the fun! Rating: 3.9 · 46 votes