MASUK DAN PENGARUH
HINDU DI JAWA
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya
Jawa
Dosen Pengampu : Jauharotul
Farida, Dra. Hj., M.A
Disusun Oleh:
Akhmad Basar ( 111 111 075 )
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI WALISONGO
2012
MASUK DAN PENGARUH
HINDU DI JAWA
I.
PENDAHULUAN
Bismillahirrahmanirrahim,
dengan kalimat inilah semua kehidupan itu berawal. Tanpa kalimat ini, semuanya
tidak menjadi bermakna. Apalah arti kehidupan ini jika tidak dipersembahkan
bagi Dia yang Maha Pencipta. Baginya, kehidupan ini tidak berakhir pada
kematian seorang manusia, tetapi dari generasi ke generasi, kehidupan ini terus
berjalan hingga pada detik terakhir dimana kehidupan ini akan berakhir. Mulai
dari titik inilah ilmu sejarah itu lahir.[1] Dalam
makalah ini ingin menuturkan sejarah tentang masuknya agama Hindu di Jawa.
Masyarakat Jawa, atau tepatnya suku bangsa Jawa
secara antropologi budaya adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya
menggunakan bahasa jawa dengan berbagai ragam dialeknya secara turun-temurun.
Masyarakat jawa adalah mereka yang bertempat tinggal di daerah Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Surakarta (Solo) dan Yogyakarta yang merupakan dua bekas kerajaan
Mataram pada sekitar abad ke 16 adalah pusat dari kebudayaan Jawa. Keduanya
adalah tempat kerajaan terakhir dari pemerintahan raja-raja Jawa.[2]
Masyarakat Jawa itu terkenal dengan ajaran Animisme dan Dinamismenya
pertanyaannya, apakah kepercayaan Animisme dan Dinamisme itu bisa dikatakan
sebagai Agama Hindu? Kalo tidak, dimana titik perbedaannya? Dan apakah sebelum
Agama Hindu masuk ke Jawa itu masyarakat jawa sudah memiliki kepercayaan lain?
Bagaimanakah proses masuknya Agama Hindu di Jawa? Serta terangkan kronologi
hancurnya agama Hindu di Jawa? Setelah Agama hindu itu hancur, apakah pengaruh
dari Agama Hindu ini masih terbawa oleh masyarakat Jawa saat ini? itulah yang akan kami bahas pada makalah ini.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Seperti
apa budaya masyarakat Jawa pra Hindu?
B. Bagaimana
sejarah singkat masuknya agama Hindu di Jawa?
C. Apakah
pengaruh ajaran Hindu masih terbawa pada masa-masa sekarang?
III.
PEMBAHASAN
A. Budaya
Masyarakat Jawa Pra Hindu
Masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat
yang diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah tradisi maupun agama. Hal ini
dapat dilihat pada cici-ciri masyarakat Jawa secara kekerabatan.
Sistem hidup kekeluargaan di Jawa Tergambar dalam
kekerabatan masyarakat Jawa. Kata “Kekerabatan”, istilah ini itu masih sangat
berlaku hingga saat ini, dalam sistem musyawarah adat desa yang di sebut Rembug Desa atau gotong royong, saling
menolong itu selalu dilakukan oleh orang-orang Jawa saat membuat pondasi rumah,
pengolahan tanah pertanian sampai waktu panen dan lain-lain.[3]
Suku bangsa Jawa sejak masa prasejarah telah
memiliki kepercayaan yaitu Animisme dan Dinamisme.
a. Kepercayaan
Animisme Jawa
Animisme sebagai faham jiwa atau teori jiwa pertama
dikemukakan oleh Sarjana Inggris, Edward
Burnet Tylor (1832-1917 SM.) dalam bukunya Primitif Chultures. Menurutnya “ Asal mula agama adalah kesadaran
akan adanya ruh atau jiwa.” Harun Nasution mengemukakan bahwa kepercayaan
animisme merupakan kelanjutan dari dinamisme. Dinamisme lebih dulu dari pada
animisme. Dengan kata lain, dinamisme meningkat menjadi animisme.[4]
Animisme atau animisma (Latin) berarti “Jiwa” atau
faham keagamaan pada manusia primitif yang mempercayai adanya ruh. Pada
dasarnya ada dua bentuk penyembahan ruh pada masyarakat animis. Pertama, penyembahan ruh yang keluar
dari orang mati. Kedua, penyembahan
terhadap ruh atau makhluk halus yang menjadi unsur sendirinya. Contohnya: bila orang meninggal, maka ruhnya dianggap
hidup lagi dan ruh tersebut dapat bertemu dengan ruh manusia yang masih hidup.
Ia bisa menolong atau sebaliknya mengganggu. Dan agar ruh itu mendatangkan
kebaikan, maka dibuatlah upacara penyembahan.
Ruh yang dianggap berbahaya atau memberi manfaat
bagi ruh yang hidup, bukan hanya berasal dari manusia, tapi juga dari binatang,
tumbuhan, batu dan benda-benda lain. Kerpercayaan ini bukan saja baru muncul
dua tiga abad, tapi sudah berlaku sejak zaman pleistosen[5]
kira-kira jutaan tahun silam.[6]
Sejalan dengan perkembangan dan perubahan zaman, kegiatan sepiritual
(batiniyah) tersebut semakin berkembang dan bervariasi.
Menurut Harun Nasution, dalam masyarakat primitif,
ruh itu dianggap bisa makan, mempunyai bentuk dan berumur. Bagi orang primitif
di Afrika, ruh itu musti diberi makan sebagaimana manusia hidup. Bagi penduduk
Adnan, ruh itu mempunyai kaki dan tangan yang panjang-panjang tapi kecil, bisa
pergi berburu, makan babi dan bernyanyi. Ruh itu mempunyai kekuatan dan
kehendak, bisa merasa senang atau marah, jika ia marah maka akan membahayakan
manusia. Karena itu, keridhaannya harus dicari dengan cara: memberi makan,
berkorban atau mengadakan pesta-pesta khusus.[7]
Jadi dapat saya katakan bahwa Animisme itu terdapat
dua pokok kepercayaan pertama,
kepercayaan terhadap serba ruh atau zat ruh. Kedua, kepercayaan terhadap ruh manusia setelah mati.
b. Kepercayaan
Dinamisme Jawa
Dinamisme
atau dynamisme (Yunani) dalam bahasa
Indonesia diartikan sebagai faham keagamaan manusia primitif dengan tingkat
kebudayaannya masih rendah yang berpandangan bahwa tiap-tiap benda yang berada
disekelilingnya itu mempunyai kekutan mistis.[8]
Masyarakat
Jawa mempercayai bahwa apa yang telah mereka bangun adalah hasil dari adaptasi
pergulatan dengan alam. Kekuatan alam disadari merupakan penentuan dari
kehidupan seluruhnya. Keberhasilan pertanian tergantung dari kekutan alam,
matahari, hujan, angin,dan hama, tetapi mereka masih mempercayai kekuatan
adikodrati dibalik semua kekuatan alam ini. Selanjutnya sebagai sisa
peninggalan masa lalu adalah melakukan tindakan keagamaan dengan berusaha untuk
menambah kekuatan batin agar dapat mempengaruhi kekuatan alam semesta atau Jagad gede. Hal ini dilaksanakan
agar semua kekuatan alam yang akan mempengaruhi kehidupan diri dan keluarganya
dapat dikalahkan.
Usaha
ini ditempuh dengan jalan laku prihatin yaitu merasakan perih ing batin dengan cara cegah dahar lawan guling (mencegah makan dan mengurangi
tidur), dan lain-lain. Untuk menambah kekuatan batin itu sendiri dilakuakan
pula dengan cara menggunakan benda-benda yang berkekuatan gaib yang disebut jimat, yakni berupa keris, tombak, batu akik, kuku
macan, dan lain-lain tidakan keagamaan tersebut adalah kepercayaan pada zaman
dinamisme.[9]
B. Sejarah
Singkat Masuknya Agama Hindu di Jawa
Sejarah
mencatat bahwa masuknya agama Hindu di Jawa itu dari India. Sebelum awal abad
ke-19, Raffles[10]
mengangkat indianisasi menjadi topik yang menarik dengan mengkaitkan antara
Jawa dengan India. Kemudian gagasan ini dilanjutkan oleh para peneliti Belanda
yaitu: J.L.A. Brandes (1957-1905), H. Kern (1833-1917), N.J. Korm (1883-1945),
dan W.F. Stutterheim (1892-1942). Mereka semua berjasa dalam menginterpretasikan
masa lampau Jawa berdasarkan tentang India kuno.[11]
Pertama, asal-usul suku bangsa Jawa yang dijelaskan oleh C.C. Berg dalam bentuk
legenda tentang seorang yang bernama Aji Saka. Ia dikisahkan sebagai seorang
pemuda putra Brahmana yang bersal dari tanah India. Aji Saka datang ke tanah
Jawa, dan mendapatkan sebuah negeri dengan nama Medangkamulan, yang saat ini
itu berada di daerah Grobogan, Purwodadi. Negeri ini dikuasai oleh seorang raja
pemakan daging manusia yang bernama Dewatacengkar. Aji Saka menawarkan diri
menjadi makanan raja dengan syarat ia akan menerima satu bidang tanah seluas
destarnya sebagai ganti, tetapi ia terkejut karena destar milik Aji Saka itu
semakin lama semakin lebar dan panjang, hingga akhirnya menutupi seluruh
wilayah kerajaannya. Ia menerima kekalahannya dengan mengundurkan diri, serta
menyerahkan kekuasaannya kepada Aji Saka pada tahun 78 Masehi.
Menurut
C.C. Berg legenda di atas itu menjadi simbolisme atau lambang yang dipergunakan
oleh nenek moyang orang Jawa untuk memudahkan ingatan perhitungan awal tarikh
Jawa yaitu Tarikh Saka. Hitungan ini diawali dengan runtuhnya kepercayaan
Animisme karena masuknya pengaruh Hindu di Jawa.[12]
Kelanjutan
dari hal tersebut bahwa banyak nama tempat di pulau Jawa yang berasal dari
bahasa sangsekerta, sehingga kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa banyak yang
namanya dipinjam dari Mahabarata., kerajaan Majapahit, Mataram itu salah
satunya, kerajaan tersebut merupakan kerajaan Hindu yang terbesar di Jawa,
demikian pula relief-relief candi di pulau Jawa., candi prambanan, dan
lain-lain.
Tak
lama kemudian di Jawa masuklah agama Budha karena ajaran Budha tidak mengenal
adanya sistem kasta, sedangkan agama Hindu menagajarkan sistem pelapisan
masyarakat yang terkenal disebut “Kasta” (Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra). Akhirnya banyak
masyarakat Jawa berpindah ke agama ini, dan inilah masa-masa agama hindu mulai
memudar. sebenarnya ajarannya itu hampir mirip dengan ajaran agama Hindu cuma perbedaannya
itu pada kitabnya kalau Hindu itu kitab sucinya namanya “Weda, Brahmana,
Upanisad” sedangkan
kitab suci Budha itu namanya “Tripitaka”. Selain itu juga terdapat perbedaan pada
relief candi-candinya.
C. Pengaruh
Agama Hindu
Setelah
begitu banyaknya kepercayaan-kepercayaan yang datang di masyarakat Jawa
akhirnya masyarakat Jawa memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam menangani
ini semua, makanya tidak salah sampai saat ini masyarakat Jawa masih memiliki
keyakinan keanimismean, kedinamismean dan kehinduan. Sebenarnya pengaruh dari
ajaran itu semua masih banyak yang digunakan oleh masyarakat Jawa, khususnya
pada masyarakat Jawa pedesaaan masih banyak yang percaya tentang adanya
kekuatan mistis pada benda-benda tertentu, masih percaya pada dewa, dewi dan
lain sebagainya.
Sampai
sekarang yang masih bisa kita jumpai itu upacara setelah kematian seseorang
dari 3 hari, 7 hari, dan seterusnya. Tapi itu semua telah diakulturasikan
dengan ajaran-ajaran Islam oleh para Wali di Jawa. Selain itu masyarakat Jawa
dalam adat pernikahan sering juga menggunakan dengan perhitungan-perhitungan
tertentu inilah salah satu dari pengaruh Hindu, dalam budaya Jawa pitungan
jodo (perhitungan jodoh) atau
petung salaki rabi sendiri ada bermacam-macam, lebih dari sepuluh
cara yang bisa dipilih sesuai dengan kemantapan hati seseorang. Ada yang
berdasarkan dengan perhitungan huruf depan dan belakang kemudian dicocok kan
dengan calon pasangannya berdasarkan perhitungan neptu (nilai) huruf Jawa ( Ho, No, Co, Ro, Ko, dan
seterusnya). Ada yang berdasarkan perhitungan neptu hari kelahiran dan lain sebagainya[13]. Contoh: calon laki-laki
bernama Hadi yang lahir pada Jum’at kliwon sedangkan calon mempelai wanitanya
bernama Retno lahir selasa legi. Jika dipilih dengan perhitungan neptu huruf Jawa, maka sebagai
berikut:
Ha, huruf Jawanya adalah Ho = 6
Di, huruf Jawanya adalah Do = 5
Ret, huruf Jawanya adalah
Ro = 3
No, huruf Jawanya adalah No = 3, jadi bila semua dijumlahkan adalah 17, kemudian
di bagi jumlah hari dalam satu minggu 17:7= 2 dan masih sisa 3, lalu dicocokkan
dengan maknanya, yaitu:
Jika sisa satu : Tunggak Tan Semi, berarti anaknya banyak yang mati.
Jika sisa dua : Pisang Pugel, berarti akan terjadi perceraian.
Jika sisa tiga : Lumbung Gumiling, berarti terjadi pemborosan.
Jika sisa empat : sanggar Waringin, berarti menjadi pengayom.
Jika sisa lima : pedarinagn Kebak, berarti akan kaya raya.
Jika sisa enam : Satria Lelaku, berarti bernasib baik jika berdagang.
Jika sisa tujuh : Pandhita Mukti, berarti ketenangan, ketentraman, dan
Keselamatan.[14]
IV.
KESIMPULAN
Masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat
yang diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah tradisi maupun agama. Hal ini
dapat dilihat pada cici-ciri masyarakat Jawa secara kekerabatan.
Dalam sistem musyawarah adat desa yang di sebut Rembug Desa atau gotong royong, saling
menolong itu selalu dilakukan saat-saat membuat pondasi rumah, pengolahan tanah
pertanian sampai waktu panen dan lain-lain.
Suku bangsa jawa sejak masa prasejarah telah
memiliki kepercayaan yaitu Animisme dan Dinamisme.
Animisme yaitu faham keagamaan pada manusia primitif
yang mempercayai adanya ruh, sedangakan Dinamisme diartikan sebagai faham keagamaan manusia
primitif dengan tingkat kebudayaannya masih rendah yang berpandangan bahwa
tiap-tiap benda yang berada disekelilingnya itu mempunyai kekutan mistis.
Sejarah
singkat awal masuknya agama Hindu di Jawa itu mulai dari legenda Aji Saka
dengan dewatacengkar yang di kemukakan oleh C.C. Berg.
Tak lama kemudian di Indonesia masuklah agama
Budha yang ajarannya itu hampir mirip dengan ajaran agama Hindu perbedaannya
itu pada kitabnya kalau Hindu itu kitab sucinya namanya “Weda,
Brahmana, Upanisad” sedangkan kitab suci Budha itu namanya “Tripitaka” kemudian agama Hindu juga menagajarkan sistem
pelapisan masyarakat yang terkenal disebut “Kasta” (Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra) sedangkan agama Budha
tidak mengajarkan sistem kasta.
Setelah
begitu banyaknya kepercayaan-kepercayaan yang datang di masyarakat Jawa,
akhirnya masyarakat Jawa memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam menangani
ini semua, makanya tidak salah sampai saat ini masyarakat Jawa memiliki
keyakinan keanimismean, dan kehinduan.
Sampai
sekarang yang masih bisa kita jumpai itu upacara setelah kematian seseorang
dari 3 hari, 7 hari, dan seterusnya. Tapi itu semua telah diakulturasikan
dengan ajaran-ajaran Islam oleh para Wali di Jawa. Selain itu masyarakat Jawa
dalam adat pernikahan sering juga menggunakan dengan perhitungan-perhitungan
tertentu inilah salah satu dari pengaruh Hindu, dalam budaya Jawa pitungan
jodo (perhitungan jodoh) atau
petung salaki rabi sendiri ada bermacam-macam, lebih dari sepuluh
cara yang bisa dipilih sesuai dengan kemantapan hati seseorang. Ada yang
berdasarkan dengan perhitungan huruf depan dan belakang kemudian dicocokkan
dengan calon pasangannya berdasarkan perhitungan neptu (nilai) huruf Jawa ( Ho, No, Co, Ro, Ko, dan
seterusnya). Ada yang berdasarkan perhitungan neptu hari kelahiran dan lain sebagainya.
V.
PENUTUP
Demikianlah uraian
yang dapat Penulis sampaikan dalam makalah ini. Sebagai manusia biasa,
tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari Para Pembaca
sangat Penulis nantikan demi kesempurnaan makalah dimasa yang akan datang.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi Pembaca pada
umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amin,
Darori, Islam dan kebudayaan Jawa,
Yogyakarta: Gama Media, 2000
Aziz
Manshur, Abdul, Menjawab Vonis Bid’ah, Jakarta: Forum Karya ilmiyah,
2010
Hsubky,
Badruddin, Bid’ah-Bid’ah di Indonesia,
Jakarta : Gema Insani, 2006
Koentjaraningrat,
Pengantar Antropologi, Jakarta : Gema
Insani, 2001
Lombard,
Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya, jilid III, Jakarta: PT. Gramedia,
1996
Nasution,
Harun, Filsafat Agama, Jakarta: Bulan
Bintang, 1989
[1]
Ilhamuddin Nukman, Life to Alive, ( JogJakarta: Diva Press,
2009), hlm. 23
[2]
Drs. H. M. Darori Amin. MA,
Islam dan kebudayaan Jawa, (
Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 3
[4]
Harun Nasution, Filsafat Agama, ( Jakarta: Bulan
Bintang, 1989), hlm. 28
[5]
Zaman
Pleistosen adalah zaman dimana kebudayaan manusia antara laki-laki dengan
perempuan itu sudah mengetahui batasan-batasan, peraturan-peratuaran atau
hukum-hukum yang berlaku. Promes kuilet (laki-laki dan perempuan dianggap
sama), matrilinear (Sudah
mengetahui batasan tapi belum ada
peraturan), baru Pleistosen tokoh yang
mengemukakannya ialah JJ. Bachofen .Lihat, Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, ( Jakarta : Gema
Insani, 2001), hlm. 73
[7]
Drs. KH. Badruddin Hsubky, Bid’ah-Bid’ah diIndonesia, ( Jakarta :
Gema Insani, 2006), hlm. 60-62
[8]
Harun Nasution, Op.cit.,
hlm. 23
[9]
Drs. H. M. Darori Amin. MA,
Op.cit., hlm. 9-10
[10]
Raffles yaitu
seorang peneliti dari eropa, ia pernah menemukan bunga Raflesia di tanah Sumatra, lihat Denys Lombard, Nusa Jawa:
Silang Budaya, jilid III, ( Jakarta: PT. Gramedia, 1996 ), hlm. 7
[11]
Ibid.,
[12]
Drs. H. M. Darori Amin. MA,
Op.cit., hlm. 10-12
[13]
KH. Abdul Aziz
Manshur, Menjawab Vonis Bid’ah, ( Jakarta: Forum Karya ilmiyah: 2010 ),
hlm. 324-327.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar