PEREMPUAN JADI PEMIMPIN
I.
LATAR BELAKANG MASALAH
Pemimpin adalah seseorang yang mempunyai tugas, amanat serta
tanggung jawab atas sesuatu yang dipimpinnya. Memang tidak dapat dipungkiri
bahwa fitrah manusia diturunkan di bumi ini selain untuk beribadah juga
dituntut oleh Allah SWT untuk menjadi seorang pemimpin, karena dalam agama
dijelaskan bahwa manusia itu adalah خَلِيْفَةُ
فِى لّلآرْض ( khalifah di bumi ). Jadi dengan demikian mau tidak mau kita
harus belajar dan wajib bagi kita untuk mempelajari ilmu tentang kepemimpinan
agar kita mampu menjadi seorang pemimpin. Minimal itu untuk memimpin diri kita
sendiri.[1]
Memang
memimpin diri sendiri itu kiranya sepele dalam fikiran kita tapi jika kita
tidak mendasarinya dengan ilmu pasti kita masih kesulitan dalam memimpin diri
kita sendiri dan mengendalikan pola pikir kita, semisal jika kita berhadapan
dengan banyak orang yang mempengaruhi diri kita, di situ kita kebingungan mau
mengikuti perkataan siapa? Problem semacam
inilah yang perlu kita gunakan dengan kajian ilmu kepemimpinan dalam memimpin
diri sendiri.[2]
Dari uraian di atas jelaslah bahwa setiap orang itu wajib menjadi
pemimpin, meskipun memimpin dirinya sendiri.
A.
Dewasa
ini dengan berkembangnya zaman yang begitu pesat setiap kelompok atau anggota
bahkan negara memang harus mempunyai pemimpin yang hebat dan handal, karena
diharapkan agar mampu memecahkan problem-problem yang selalu hadir menyelimuti
jalannya realita kehidupan ini, dari sejarah Rasul telah ditetapkan seorang
pemimpin itu harus mempunyai jiwa dan sikap yang tegas. Dan dilihat dari segi
psikologi manusia pada umumnya, yang mempunyai jiwa dan sikap yang tegas itu
adalah laki-laki. Maka pada waktu itulah Rasul menegaskan seorang pemimpin itu
harus wajib bagi laki-laki, tapi karena sifat zaman
yang selalu berkembang kini banyak kita temukan seorang pemimpin perempuan, yang sekarang
ini sudah menjadi kenyataan sosial diberbagai negara. Kita lihat saja mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat,
Madelaine Albright, adalah seorang wanita, begitu juga dengan mantan presiden RI,
Megawati Soekarno Putri dll. Bagaimana dengan pandangan Islam terhadap kasus ini jika kita lihat
dengan pendekatan hukum? boleh atau tidak?[3]
B.
Memang
masalah yang cukup menggelitik ini seru jika kita
bahas, sampai ada pertanyaan yang selalu keluar diberbagai penjuru menanyakan
tentang ketetapan hukum ini dari para Mujtahid, sedangkan jika kita pandang
lewat Hadits Nabi tersebut dengan tegas mengatakan “Tidak akan sejahtera jika sebuah bangsa
yang menyerahkan segala usaha urusannya itu kepada seorang wanita”. [4] Setelah adanya hadits ini
terjadilah perbedaan pendapat dari para ulama’. Ada para ulama’ yang memandang
haram dan ada juga yang membolehakan, siapa tokoh yang membolehkan dan siapa
yang mengharamkan? Dan bagaimana hukumnya
setelah adanya ijtihad?
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apakah
hukum asal mengangkat seorang pemimpin?
B.
Bagaimanakah
pandangan hukum Islam terhadap kepemimpinan wanita dan bagaimana
pendapat para ulama’?
III.
PEMBAHASAN
1.
Hukum asal mengangkat seorang pemimpin.
Pada dasarnya Al-Qur’an tidak pernah secara tersirat menyebutkan
kata kepemimpinan, karena kepemimpinan ( Leadership ) merupakan istilah
dalam manajemen organisasi. Dalam manajemen, Leadership adalah satu
faktor penting yang mempengaruhi berhasil atau gagalnya organisasi. Memang
betul bahwa suatu organisasi dapat mencapai tujuannya manakala sumber pedoman tercukupi. Struktur organisasinya rapi dan berjalan serta tenaga terampilnya
tersedia sekalipun demikian, kepemimpinan memang peranan yang penting yang
mesti dipertimbangkan. Tanpa pemimpin yang baik, roda organisasi tidak akan
berjalan lancar. Dengan kata lain, kepemimpinan merupakan faktor penentu bagi
efektivitas dan efisiensi kegiatan organisasi.[5]
Di bidang politik keagamaan dan pengambilan hukum substansial dari
dasar-dasar menyeluruh, maka dasar sebutan pemimpin di dalam al-Qur’an disebutkan
dengan nama “ulil amri”.[6]
Sedangkan di bidang pemerintahan atau negara, pemimpin ini disebut dengan
berbagai nama, misalnya Imamah (dikalangan Shi’i) dan
khalifah (dalam tradisi Sunni) Raja untuk kerajaan atau Presiden dalam
istilah negara republik.[7]
Dalam masalah kali ini kita akan membahas terlebih dahulu tentang
hukum asal mengangkat seorang pemimpin sebelum kita membahas inti pokok
permasalahan dalam paper ini yaitu perempuan jadi pemimpin. Sekarang coba kita
lihat sejarah pada zaman dulu mulai dari Nabi Adam AS. Khalifah atau
pemimpin dalam Al-Qur’an maknanya berkisar diantara kata kerja “menggantikan”,
“meninggalkan”, atau kata benda “pengganti” atau “pewaris”. Secara
terminologis, kata ini mengandung setidaknya dua makna ganda. Di satu pihak, Khalifah
diartikan sebagai kepala negara dalam pemerintah dan kerajaan Islam pada masa
lampau, yang dalam konteks kerajaan pengertiannya sama dengan kata Sultan.
Dipihak lain Khalifah berarti dua macam. Yang pertama, yaitu diwujudkan
dalam jabatan Sultan atau kepala negara. Sedangkan yang kedua, yaitu
fungsi manusia itu sendiri dimuka bumi sebagai ciptaan Allah SWT yang sempurna.[8]
Guna memperoleh sedikit gambaran tentang arti Khalifah, dalam
konteks Al-Qur’an telah diturunkan beberapa ayat dari surat al-A’raf pada ayat
69.
وَادْكُرُوْااِذْجَعَلَكُمْ خُلَفَأءَمِنْ بَعْدِ قَوْمِ نُوْحٍ…
“ Ingatlah
diwaktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa)
sesudah lenyapnya kaum Nuh ......”.[9]
Kata khalifah di atas diterjemahkan sebagai
penganti yakni generasi yang menggantikan generasi sebelumnya. Generasi itu
adalah kaum Nabi Hud AS, yaitu bangsa Ard yang terkenal perkasa
sebagai pengganti generasi Nabi Nuh AS. Pada ayat 74 diceritakan tentang umat Nabi
Salih yang juga menggantikan generasi sebelumnya yaitu kaum ‘Ad (Q.S. Al,
A’raf: 74)
وَاذْكُرُوْا إِذَجَعَلَكُمْ خُلَفَأءَمِنْ
بَعْدِ عَادٍ وَّبَوَّاكُمْ
فِى اْلاَرْضِ......
“Dan ingatlah ketika Dia
menjadikan kamu khalifah-khalifah setelah kaum Ad dan menempatkan kamu di bumi......”.[10]
Pada surat yang sama ayat 142 juga di
tampilkan tentang Nabi Musa AS dan Harun AS yang mengemban misi kenabian kepada bangsa
Mesir:
قَالَ مُوْسَ لِلاَخِيْهِ هَرُوْنَ اُخْلُفْنِ فِيْ قَوْ مٍ.
“(Berkata Musa kepada saudaranya Harun:
“Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaum ku...)”.[11]
Dalam ayat ini ada perintah “Ukhulufni” atau dalam tulisannya ”
اُخْلُفْنِ” yang artinya “Jadilah penggantiku” yang
merupakan perintah Nabi Musa AS kepada Nabi Harun AS ketika Nabi Musa AS hendak
ke gunung Tutsina guna bermunajat kepada Allah SWT.[12]
Ibnu khaldun dalam bukunya Muqadimmah, banyak berbicara mengenai
Khalifah. Dia menarik teorinya tentang Khalifah dari Al-Qur’an, dalam
penjelasannya ia mengatakan bahwa manusia mempunyai kecenderungan alami untuk
memimpin karena mereka diciptakan sebagai “Khalifah fil ard”
Khalifah di bumi oleh Allah SWT. Menurut ibnu khaldun Khalifah adalah
kepemimpinan (pemerintahaan) yang berdasarkan kedaulatan.[13]
Gelar Khalifah dalam sejarah pemerintahaan
Islam pertama kalinya diterima oleh Abu Bakar yang menggantikan Nabi Muhammad
SAW setelah beliau wafat. Kemudian Umar bin Khatab yang ditunjuk oleh Abu Bakar
sebelum ia wafat kemudian Ustman bin Affan ia terpilih sebagai Khalifah
berdasarkan atas pemufakatan antara dewan Ahli Wal Aqdhi atau tim formatur yang
dibentuk oleh Umar bin Khatab sebelum beliau wafat dan sementara Ali bin Abi
Thalib beliau dipilih sebagai pengganti Ustman bin Affan berdasarkan bai’at
oleh kaum muslimin setelah terjadi tragedi berdarah yang menewaskan Umar bin
Khatab tragedi ini kemudian terjadi tahkim dan kemudian di sini Islam terbagi
menjadi beberapa golongan.[14]
Dan pecahnya golongan itu tak luput juga dipelopori oleh seorang
pemimpin. Sabda rasul:
اِنَّ العِرَفَةِ حَقٌّ وَلاَبُدَلِلنّاَسِ مِنَ العُرَفَاءِ.
“Sesunguhnya
kepemimpinan pada suatu kaum adalah hak dan mestilah bagi manusia itu pemimpin”.
Maka pemimpin adalah pengendali atau orang
yang memang tamak kekuasaan atas suatu kaum (golongan) dalam setiap kaum atau
kelompok atau mungkin anggota itu memang harus ada yang Arif atau pemimpinnya.[15]
Dari uraian di atas jelaslah bila kita cermati
setiap kelompok atau anggota bahkan negara pasti membutuhkan seorang pemimpin, jadi
dengan demikian saya dapat menyimpulkan bahwa mengangkat seorang pemimpin itu
hukumnya ialah “Fardhu Kifayah”.
2.
Pandangan hukum Islam terhadap kepemimpinan wanita dan pendapat para ulama’.
Masih terdapat perbedaan pendapat dikalangan ahli hukum Islam tentang
peran sosial politik kaum wanita. Bolehkah seorang wanita jadi pemimpin?
Sementara pro-kontra tetap ada, ternyata wanita-wanita yang menjadi pemimpin
tetap eksis dan jalan terus. Memang sudah menjadi kenyataan sosial diberbagai
negara, seorang wanita sudah dapat diterima menempati jabatan-jabatan publik.
Contoh saja: Mantan Perdana Menteri Inggris “Margaret Thatcher”, Mantan Perdana
Menteri Pakistan “Bhenazir Bhuto”, Mantan Menteri Amerika Serikat, “Medaline
Albright”, dan tak terlupakan juga Mantan
Presiden RI yaitu “Megawati Soekarno Putri”.[16]
Mereka semua adalah wanita-wanita yang memegang posisi sebagai pemimpin
dilingkungan dan wilayah mereka masing-masing. Belum lagi mereka semua juga
menempati posisi pimpinan di dunia bisnis maupun organisasi kemasyarakatan,
dunia pendidikan dan seterusnya.
Mengahadapi kenyataan ini, hukum Islam turut berbicara. Para fuqaha
dari berbagai mazhabnya mengemukakan argumen-argumennya secara tidak seragam,
sehingga menimbulkan perbedaan dan terjadi polemik antara yang mendukung dan
yang menolaknya. Pertanyaannya, bagaimana sebenarnya pandangan hukum Islam terhadap
kepemimpinan wanita? Jika boleh, bagaimana argumentasinya? Dan jika tidak boleh
apa pertimbangannya?
Baiklah langsung saja kita bahas. Dalam sebuah hadits,
Nabi pernah bersabda:
عَنْ أَبِيْ بَكْرَةَ لَقَدْ نَفَعْنِيَ اللهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا
مِنْ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. أَيَامَ الْجَمَلَ بَعْدَ ماكدت أَنْ ألْحَقَّ
بِأَصَحَاب الجَمَلَ فَأْقاتل مَعَهُمْ قَالَ لِمَا بَلَغُ رَسُوْلُ الله ص. م. أن
أهل فارس قد ملكوا عَلَيْهِمْ بنت كَسِرى قَالَ عَلَيْهِ الصَلاَةُ وَالسلام لن
يفلح قوم ولواأمرهم امرأة. ( رواه بخري ).
“Diriwayatkan dari Abu Bakar, (ia
berkata):’Sungguh, Allah telah memberi manfaat kepadaku lantaran kalimat yang
aku dengar dari Rasulullah SAW pada perang Jamal,ketika aku hampir terjebak
ikut perang Jamal.’ Selanjutnya ia berkata,’ketika berita bahwa persia telah
mengangkat Puteri Kirsa sebagai Ratu, hal itu sampai pada Rasul, kemudian
beliau bersabda: “Tidak akan sejahtera sebuah bangsa yang menyerahkan segala
urusannya kepada seorang wanita.”’” (H.R. al-Bukhari).[17]
Hampir seluruh fuquha’ yang melarang keterlibatan permpuan menjadi
pemimpin mengacu pada hadits ini
sebagai dalil. Di belakang itu, mereka memberikan argumen penguat bahwa perempuan
adalah makhluk yang kurang akalnya, tidak kuat fisiknya, dan labil mentalnya.
Karena itu, ditutup peluang bagi kaum wanita untuk menempati jabatan
kepemimpinan pada segala bidang yang mengurusi orang banyak. Namun demikan,
Imam Abu Hanifah membolehakan wanita menjabat seorang hakim, itu pun dalam
perkara hukum perdata, bukan pidana. Imam Jarir ath-Thabari lebih lunak lagi dengan
memperbolehkannya wanita menjadi pemimpin disegala bidang yang kemudian oleh
al-Mawardi langsung dinilai sebagai pendapat yang syadz dan
menentang ijmak (kesepakatan para ulama’).[18]
Dari dalil di atas sebenarnya kurang untuk dijadikan syarat pelarangan
maupun pengharaman sebab menurut “Ushul Fiqh” sebuah nash baru dapat dikatakan haram jika memuat setidak-tidaknya
ada hal-hal berikut:
(a)
Secara redaksional, nash tersebut mengatakan haram.
(b)
Nash tersebut dengan tegas melarangnya dalam bentuk nahi.
(c)
Nash tersebut diiringi dengan ancaman siksa (uqubah).
(d)
Menggunakan redaksi lain yang menurut gramatika bahasa Arab menunjukan
tuntutan yang harus dilaksanakan.[19]
Sedangkan hadits diatas hanya mengungkap “Tidak akan sejahtera....”
kata itu kalau menurut buku Dr. H. Abu Yasid LL.M., belum bisa dikatakan
sebagai larangan atau haram karena masih rancu dan belum tegas, mungkin saja
perkataan Nabi itu hanya merupakan sebuah komentar yang ditujukan kepada bangsa
persia saja. Sedangkan menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab, hadits itu hanya khusus
berlaku pada masyarakat persia pada waktu itu, bukan untuk semua masyarakat dan
dalam semua urusan.[20]
Dengan alur pemikiran yang seperti ini maka hadits tadi sesungguhnya
tidak melarang secara tegas jika seorang perempuan menjabat sebagai pemimpin kalau
yang dijadikan alasan itu adalah asumsi bahwa perempuan memiliki kemampuan
nalar di bawah laki-laki. Sebagaimana argumen yang dikemukakan para “ Fuqaha”, maka alasan ini dapat dimengerti oleh sebab perempuan pada masa itu
minim akses informasi. Akibatnya,
perempuan tidak mengetahui masalah secara universal. Wajar saja jika perempuan
pada abad pertengahan terpingkirkan dalam peran sosial politik, karena
linkungan ketika itu kurang memberikan peluang secara berimbang antara
laki-laki dengan perempuan. Padahal, pada masa Rasulullah masih hidup, Siti
Aisyah mampu meriwayatkan 2210 hadits dan itu mengkalahkan kalangan sahabat
Nabi yang laki-laki.[21]
Tapi hal itu malah tidak jadi perhatian sebagai pertimbangan oleh Rasul dan
para sahabat. Sekarang coba kita lihat, di dunia pendidikan sekarang ini jumlah
perbandingan antara perempuan dengan laki-laki itu adalah 3:1, jadi otomatis
permpuan lebih unggul dibanding laki-laki, Perempuan pada masa kini itu
memiliki akses yang sama dengan laki-laki untuk belajar aneka ragam ilmu
pengetahuan. Jadi jika masih ada asumsi bahwa perempuan itu memiliki kemampuan
nalar di bawah laki-laki, itu sudah terbantahkan. Dan itu adalah model pemikiran-pemikiran
terdahulu.
Mengenai argumen lain bahwa perempuan itu memiliki kemampuan fisik yang
lemah dibanding laki-laki, namun menurut saya, kelemahan ini tidak akan
berpengaruh jika ditunjang dengan fasilitas-fasilitas yang memadai, seperti
fasilitas transportasi, komunikasi dan manajemen yang canggih. Itu sudah bisa
menutupi kelemahan seorang perempuan di bidang ini. Apalagi zaman sekarang ini
teknologi sudah begitu canggih. Ini juga sekaligus merupakan faktor yang dapat
menutupi kekhawatiran banyak orang tentang ketidakmampuan perempuan dalam
menata mental spiritualnya.
Persoalan lain muncul ketika ada kesan bahwa perempuan tidak diperbolehkan keluar
rumah. Kesan ini sering dikaitkan dengan pelarangan seorang perempuan mengambil
peran aktif dalam dunia sosial dan politik. Biasanya, pelarangan ini didasarkan
pada firman Allah (Q.S. al-Ahzab(33)),:
وَقُرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلاَتَبَرُّجَ
الجَاهِلِيَّةِاْلاُوْلَى.........
“Dan hendaklah kamu
dirumahmu, dan jangan kamu berhias seperti orang-orang jahiliah yang
dahulu......” (Q.S. al-Ahzab(33)),:[22]
Apa yang perlu
dielaborasi adalah bahwa pelarangan keluar rumah pada ayat ini lebih ditujukan
pada mereka yang keluar rumah dengan mengumbar aurat ( tabarruj al-jahiliyah
) “تَبَرُّجَ الجَاهِلِيَّةِ”.
Karena itu, fikih sebenarnya membolehkan keluar rumah untuk bermuamalah dengan
ketentuan menutup auratnya. Bahkan, perempuan sedang menjalani masa idah
sekalipun masih ditoleransi untuk keluar rumah dengan alasan hajat (ada
kebutuhan mendesak).[23] Kalau untuk urusan
muamalah yang dimensinya personal saja fikih membolehhkan perempuan keluar
rumah, apakah dengan alasan yang sama (karena kebutuhan) perempuan lalu
dilarang ikut berperan aktif mengurusi umat manusia yang dimensinya sosial dan
langsung bersentuhan dengan hajat orang banyak? Kalau menurutku boleh-boleh
saja karena dengan adanya pendidikan pada zaman sekarang ini derajat perempuan
dengan laki-laki itu malah perbandingannya jauh lebih banyak yang perempuan
dibanding yang laki-laki.
IV.
KESIMPULAN
a.
Setelah kita melihat
kenyataan dari sejarah yang begitu panjang dan begitu jelasnya mulai dari zaman
Nabi sampai Khulafaur Rasyidin sosok seorang pemimpin itu sangat berguna bagi
kita bahkan bangsa dan negara dengan demikian akhirnya saya dapat menyimpulkan
bahwa mengangkat seorang pemimipin itu hukumnya “Fardhu Kifayah”. Artinya, proses dan penentuan seorang
pemimpin itu adalah kewajiban Rakyat, pada pundak merekalah pertama kali
kewajiban tersebut dibebankan karena bagaimanapun, kalau dalam suatu komunitas
tidak ada yang memimpin niscaya tatanan kehidupan yang harmonis tidak akan
pernah tercipta. Semua akan bertindak sesuai dengan keinginannya masing-masing
individu karena itu, umat lalu dituntut untuk membentuk suatu tata aturan
kehidupan yang dikendalikan oleh seorang pemimpin. Dan perlu diingat, walaupun
begitu kekuasaan tertinggi tetap berada ditangan rakyat, rakyat punya hak penuh
untuk memilih dan memberhentikan seorang pemimpin.
b.
Setelah kita panjang
lebar membahas tentang pandangan hukum Islam terhadap kepemimpinan perempuan
dan di atas tadi juga telah saya paparkan tokoh-tokoh yang membolehkan dan
tokoh yang tidak membolehkan. Jadi kalau menurut saya mengangkat
seorang wanita/perempuan untuk menjadi pemimpin itu hukumnya “Mubah” (boleh) alesannya apa? Karena
diera zaman globaisasi sekarang ini itu jumlah selisih antara laki-laki dengan
perempuan itu adalah 3:1 jadi dengan demikian mayoritas penduduk di dunia ini
didominasi oleh seorang perempuan dan tidak ada salahnya jika nantinya banyak
seorang permpuan yang menjadi pemimpin. Dan dengan alasan yang lain yaitu
dilihat dari realita pada masa sekarang ini, di masa sekarang ini dunia
pendidikan mulai dari TK sampai perguruan tinggi juga didominasi oleh seorang
perempuan sehingga sudah otomatis antara laki-laki dibanding dengan perempuan
kini telah mengalami perubahan yang besar ( Revolusi ) itu telah jauh
berbeda pada zaman Rasulullah SAW dengan zaman sekarang. Di samping saya
membolehkan, tapi dengan ketentuan seandainya jika masih ada seorang laki-laki
yang dianggap sah mengenai syarat-syarat dan rukun-rukun serta dianggap mampu
untuk menjadi seorang pemimpin itu alangkah baiknya laki-laki saja, agar kita
sebagai umat Islam, itu tidak bertolak belakang dengan ajaran sunah Rasul.
V.
PENUTUP
Demikianlah uraian
yang dapat Penulis sampaikan dalam paper ini. Sebagai manusia biasa, tentunya paper ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari Para Pembaca
sangat Penulis nantikan demi kesempurnaan paper dimasa yang akan datang. Semoga
paper ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi
Pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Alim
al-Qur’an, Juz VII.
As Sasyiqi,Ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafi, Fatwa Tradisional
untuk Orang Modern, Jakarta: Radar Jaya Offset, 2002.
Charlez, Seni Memimpin Diri Sendiri, Yogyakarta: KANISIUS,
1986.
Khaliq, Farid Abdul, Fikih Politik Islam, Jakarta: Dar
Asy-Syurtiq, 2005.
Madaniy, Malik, Politik Berpayung Fiqh, Yogyakarta: Pustaka Pesantren 2010.
Nata, Abuddin, Masail Al-Fiqiyah, Jakarta: Kencana, 2006.
Pradiansyah, Arvan, Atlas Dunia,Yogyakarta: Andi, 2008.
Qodir, Zuly. Sejarah
Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Yasid, Abu, Fikih Politik,
Jakarta: Erlangga, 2010.
[1]
Charlez C.MANZ,
Seni Memimpin Diri Sendiri, ( Yogyakarta: KANISIUS, 1986 ), hlm. 5
[3]
Ibnu Hamzah Al Husaini Al
Hanafi As Sasyiqi, Fatwa Tradisional untuk Orang Modern, ( Jakarta: Radar
Jaya Offset, 2002 ), hlm. 6
[4]
Dr. KH. A. Malik Madaniy, M. A., Politik Berpayung Fiqh, ( Yogyakarta: Pustaka Pesantren 2010 ),
hlm. 15
[5]
Prof. Dr. H.
Abuddin Nata, M.A. (ed.), Masail Al-Fiqiyah, ( Jakarta: Kencana, 2006 ),
hlm. 112
[7]
Prof. Dr. H.
Abuddin Nata, M.A. (ed.), Op.cit, hlm. 114
[14]
Zuly Qodir, Sejarah Islam, (
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007 ), hlm. 34
[17]
Zuly Qodir, Op.cit, hlm. 56
[18]
Dr. Abu Yasid, LL. M., Fikih Politik,(
Jakarta: Erlangga, 2010 ), hlm. 87
Tidak ada komentar:
Posting Komentar