Kamis, 07 Juni 2012

wanita jadi pemimpin


PEREMPUAN JADI PEMIMPIN


I.                   LATAR BELAKANG MASALAH
Pemimpin adalah seseorang yang mempunyai tugas, amanat serta tanggung jawab atas sesuatu yang dipimpinnya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa fitrah manusia diturunkan di bumi ini selain untuk beribadah juga dituntut oleh Allah SWT untuk menjadi seorang pemimpin, karena dalam agama dijelaskan bahwa manusia itu adalah   خَلِيْفَةُ فِى لّلآرْض ( khalifah di bumi ). Jadi dengan demikian mau tidak mau kita harus belajar dan wajib bagi kita untuk mempelajari ilmu tentang kepemimpinan agar kita mampu menjadi seorang pemimpin. Minimal itu untuk memimpin diri kita sendiri.[1]
      Memang memimpin diri sendiri itu kiranya sepele dalam fikiran kita tapi jika kita tidak mendasarinya dengan ilmu pasti kita masih kesulitan dalam memimpin diri kita sendiri dan mengendalikan pola pikir kita, semisal jika kita berhadapan dengan banyak orang yang mempengaruhi diri kita, di situ kita kebingungan mau mengikuti perkataan siapa? Problem semacam inilah yang perlu kita gunakan dengan kajian ilmu kepemimpinan dalam memimpin diri sendiri.[2]
Dari uraian di atas jelaslah bahwa setiap orang itu wajib menjadi pemimpin, meskipun memimpin dirinya sendiri.
A.    Dewasa ini dengan berkembangnya zaman yang begitu pesat setiap kelompok atau anggota bahkan negara memang harus mempunyai pemimpin yang hebat dan handal, karena diharapkan agar mampu memecahkan problem-problem yang selalu hadir menyelimuti jalannya realita kehidupan ini, dari sejarah Rasul telah ditetapkan seorang pemimpin itu harus mempunyai jiwa dan sikap yang tegas. Dan dilihat dari segi psikologi manusia pada umumnya, yang mempunyai jiwa dan sikap yang tegas itu adalah laki-laki. Maka pada waktu itulah Rasul menegaskan seorang pemimpin itu harus wajib bagi laki-laki, tapi karena sifat zaman yang selalu berkembang kini banyak kita temukan seorang pemimpin perempuan, yang sekarang ini sudah menjadi kenyataan sosial diberbagai negara. Kita lihat saja mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Madelaine Albright, adalah seorang wanita, begitu juga dengan mantan presiden RI, Megawati Soekarno Putri dll. Bagaimana dengan pandangan Islam terhadap kasus ini jika kita lihat dengan pendekatan hukum? boleh atau tidak?[3]
B.     Memang masalah yang cukup menggelitik ini seru jika kita bahas, sampai ada pertanyaan yang selalu keluar diberbagai penjuru menanyakan tentang ketetapan hukum ini dari para Mujtahid, sedangkan jika kita pandang lewat Hadits Nabi tersebut dengan tegas mengatakan Tidak akan sejahtera jika sebuah bangsa yang menyerahkan segala usaha urusannya itu kepada seorang wanita”. [4] Setelah adanya hadits ini terjadilah perbedaan pendapat dari para ulama’. Ada para ulama’ yang memandang haram dan ada juga yang membolehakan, siapa tokoh yang membolehkan dan siapa yang mengharamkan? Dan bagaimana hukumnya  setelah adanya ijtihad?

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apakah hukum asal mengangkat seorang pemimpin?
B.     Bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap kepemimpinan wanita dan bagaimana pendapat para ulama’?

III.             PEMBAHASAN
1.      Hukum asal mengangkat seorang pemimpin.
Pada dasarnya Al-Qur’an tidak pernah secara tersirat menyebutkan kata kepemimpinan, karena kepemimpinan ( Leadership ) merupakan istilah dalam manajemen organisasi. Dalam manajemen, Leadership adalah satu faktor penting yang mempengaruhi berhasil atau gagalnya organisasi. Memang betul bahwa suatu organisasi dapat mencapai tujuannya manakala sumber pedoman tercukupi. Struktur organisasinya rapi dan berjalan serta tenaga terampilnya tersedia sekalipun demikian, kepemimpinan memang peranan yang penting yang mesti dipertimbangkan. Tanpa pemimpin yang baik, roda organisasi tidak akan berjalan lancar. Dengan kata lain, kepemimpinan merupakan faktor penentu bagi efektivitas dan efisiensi kegiatan organisasi.[5]
Di bidang politik keagamaan dan pengambilan hukum substansial dari dasar-dasar menyeluruh, maka dasar sebutan pemimpin di dalam al-Qur’an disebutkan dengan nama ulil amri.[6] Sedangkan di bidang pemerintahan atau negara, pemimpin ini disebut dengan berbagai nama, misalnya Imamah (dikalangan Shi’i) dan khalifah (dalam tradisi Sunni) Raja untuk kerajaan atau Presiden dalam istilah negara republik.[7]
Dalam masalah kali ini kita akan membahas terlebih dahulu tentang hukum asal mengangkat seorang pemimpin sebelum kita membahas inti pokok permasalahan dalam paper ini yaitu perempuan jadi pemimpin. Sekarang coba kita lihat sejarah pada zaman dulu mulai dari Nabi Adam AS. Khalifah atau pemimpin dalam Al-Qur’an maknanya berkisar diantara kata kerja “menggantikan”, “meninggalkan”, atau kata benda “pengganti” atau “pewaris”. Secara terminologis, kata ini mengandung setidaknya dua makna ganda. Di satu pihak, Khalifah diartikan sebagai kepala negara dalam pemerintah dan kerajaan Islam pada masa lampau, yang dalam konteks kerajaan pengertiannya sama dengan kata Sultan. Dipihak lain Khalifah berarti dua macam. Yang pertama, yaitu diwujudkan dalam jabatan Sultan atau kepala negara. Sedangkan yang kedua, yaitu fungsi manusia itu sendiri dimuka bumi sebagai ciptaan Allah SWT yang sempurna.[8]
Guna memperoleh sedikit gambaran tentang arti Khalifah, dalam konteks Al-Qur’an telah diturunkan beberapa ayat dari surat al-A’raf pada ayat 69.
وَادْكُرُوْااِذْجَعَلَكُمْ خُلَفَأءَمِنْ بَعْدِ قَوْمِ نُوْحٍ…
 Ingatlah diwaktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh ......”.[9]
Kata khalifah di atas diterjemahkan sebagai penganti yakni generasi yang menggantikan generasi sebelumnya. Generasi itu adalah kaum Nabi Hud AS, yaitu bangsa Ard yang terkenal perkasa sebagai pengganti generasi Nabi Nuh AS. Pada ayat 74 diceritakan tentang umat Nabi Salih yang juga menggantikan generasi sebelumnya yaitu kaum ‘Ad (Q.S. Al, A’raf: 74)
وَاذْكُرُوْا إِذَجَعَلَكُمْ خُلَفَأءَمِنْ بَعْدِ عَادٍ وَّبَوَّاكُمْ فِى اْلاَرْضِ......
 Dan ingatlah ketika Dia menjadikan kamu khalifah-khalifah setelah kaum Ad dan menempatkan kamu di bumi......”.[10]
Pada surat yang sama ayat 142 juga di tampilkan tentang Nabi Musa AS dan Harun AS yang mengemban misi kenabian kepada bangsa Mesir:
قَالَ مُوْسَ لِلاَخِيْهِ هَرُوْنَ اُخْلُفْنِ فِيْ قَوْ مٍ.
 “(Berkata Musa kepada saudaranya Harun: “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaum ku...)”.[11]
Dalam ayat ini ada perintah “Ukhulufni” atau dalam tulisannya اُخْلُفْنِ yang artinya “Jadilah penggantiku” yang merupakan perintah Nabi Musa AS kepada Nabi Harun AS ketika Nabi Musa AS hendak ke gunung Tutsina guna bermunajat kepada Allah SWT.[12]
Ibnu khaldun dalam bukunya Muqadimmah, banyak berbicara mengenai Khalifah. Dia menarik teorinya tentang Khalifah dari Al-Qur’an, dalam penjelasannya ia mengatakan bahwa manusia mempunyai kecenderungan alami untuk memimpin karena mereka diciptakan sebagai Khalifah fil ard” Khalifah di bumi oleh Allah SWT. Menurut ibnu khaldun Khalifah adalah kepemimpinan (pemerintahaan) yang berdasarkan kedaulatan.[13]
Gelar Khalifah dalam sejarah pemerintahaan Islam pertama kalinya diterima oleh Abu Bakar yang menggantikan Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat. Kemudian Umar bin Khatab yang ditunjuk oleh Abu Bakar sebelum ia wafat kemudian Ustman bin Affan ia terpilih sebagai Khalifah berdasarkan atas pemufakatan antara dewan Ahli Wal Aqdhi atau tim formatur yang dibentuk oleh Umar bin Khatab sebelum beliau wafat dan sementara Ali bin Abi Thalib beliau dipilih sebagai pengganti Ustman bin Affan berdasarkan bai’at oleh kaum muslimin setelah terjadi tragedi berdarah yang menewaskan Umar bin Khatab tragedi ini kemudian terjadi tahkim dan kemudian di sini Islam terbagi menjadi beberapa golongan.[14]
Dan pecahnya golongan itu tak luput juga dipelopori oleh seorang pemimpin. Sabda rasul:
اِنَّ العِرَفَةِ حَقٌّ وَلاَبُدَلِلنّاَسِ مِنَ العُرَفَاءِ.
Sesunguhnya kepemimpinan pada suatu kaum adalah hak dan mestilah bagi manusia itu pemimpin”.
Maka pemimpin adalah pengendali atau orang yang memang tamak kekuasaan atas suatu kaum (golongan) dalam setiap kaum atau kelompok atau mungkin anggota itu memang harus ada yang Arif atau pemimpinnya.[15]
Dari uraian di atas jelaslah bila kita cermati setiap kelompok atau anggota bahkan negara pasti membutuhkan seorang pemimpin, jadi dengan demikian saya dapat menyimpulkan bahwa mengangkat seorang pemimpin itu hukumnya ialah “Fardhu Kifayah”.

2.      Pandangan hukum Islam terhadap kepemimpinan wanita dan pendapat para ulama’.
Masih terdapat perbedaan pendapat dikalangan ahli hukum Islam tentang peran sosial politik kaum wanita. Bolehkah seorang wanita jadi pemimpin? Sementara pro-kontra tetap ada, ternyata wanita-wanita yang menjadi pemimpin tetap eksis dan jalan terus. Memang sudah menjadi kenyataan sosial diberbagai negara, seorang wanita sudah dapat diterima menempati jabatan-jabatan publik. Contoh saja: Mantan Perdana Menteri Inggris “Margaret Thatcher”, Mantan Perdana Menteri Pakistan “Bhenazir Bhuto”, Mantan Menteri Amerika Serikat, “Medaline Albright”, dan tak terlupakan juga Mantan Presiden RI yaitu “Megawati Soekarno Putri”.[16] Mereka semua adalah wanita-wanita yang memegang posisi sebagai pemimpin dilingkungan dan wilayah mereka masing-masing. Belum lagi mereka semua juga menempati posisi pimpinan di dunia bisnis maupun organisasi kemasyarakatan, dunia pendidikan dan seterusnya.
Mengahadapi kenyataan ini, hukum Islam turut berbicara. Para fuqaha dari berbagai mazhabnya mengemukakan argumen-argumennya secara tidak seragam, sehingga menimbulkan perbedaan dan terjadi polemik antara yang mendukung dan yang menolaknya. Pertanyaannya, bagaimana sebenarnya pandangan hukum Islam terhadap kepemimpinan wanita? Jika boleh, bagaimana argumentasinya? Dan jika tidak boleh apa pertimbangannya?
Baiklah langsung saja kita bahas. Dalam sebuah hadits, Nabi pernah bersabda:
عَنْ أَبِيْ بَكْرَةَ لَقَدْ نَفَعْنِيَ اللهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. أَيَامَ الْجَمَلَ بَعْدَ ماكدت أَنْ ألْحَقَّ بِأَصَحَاب الجَمَلَ فَأْقاتل مَعَهُمْ قَالَ لِمَا بَلَغُ رَسُوْلُ الله ص. م. أن أهل فارس قد ملكوا عَلَيْهِمْ بنت كَسِرى قَالَ عَلَيْهِ الصَلاَةُ وَالسلام لن يفلح قوم ولواأمرهم امرأة. ( رواه بخري ).
 Diriwayatkan dari Abu Bakar, (ia berkata):’Sungguh, Allah telah memberi manfaat kepadaku lantaran kalimat yang aku dengar dari Rasulullah SAW pada perang Jamal,ketika aku hampir terjebak ikut perang Jamal.’ Selanjutnya ia berkata,’ketika berita bahwa persia telah mengangkat Puteri Kirsa sebagai Ratu, hal itu sampai pada Rasul, kemudian beliau bersabda: “Tidak akan sejahtera sebuah bangsa yang menyerahkan segala urusannya kepada seorang wanita.”’” (H.R. al-Bukhari).[17]
Hampir seluruh fuquha’ yang melarang keterlibatan permpuan menjadi pemimpin mengacu pada hadits ini sebagai dalil. Di belakang itu, mereka memberikan argumen penguat bahwa perempuan adalah makhluk yang kurang akalnya, tidak kuat fisiknya, dan labil mentalnya. Karena itu, ditutup peluang bagi kaum wanita untuk menempati jabatan kepemimpinan pada segala bidang yang mengurusi orang banyak. Namun demikan, Imam Abu Hanifah membolehakan wanita menjabat seorang hakim, itu pun dalam perkara hukum perdata, bukan pidana. Imam Jarir ath-Thabari lebih lunak lagi dengan memperbolehkannya wanita menjadi pemimpin disegala bidang yang kemudian oleh al-Mawardi langsung dinilai sebagai pendapat yang syadz dan menentang ijmak (kesepakatan para ulama’).[18]
Dari dalil di atas sebenarnya kurang untuk dijadikan syarat pelarangan maupun pengharaman sebab menurut “Ushul Fiqh” sebuah nash baru dapat dikatakan haram jika memuat setidak-tidaknya ada hal-hal berikut:
(a)    Secara redaksional, nash tersebut mengatakan haram.
(b)   Nash tersebut dengan tegas melarangnya dalam bentuk nahi.
(c)    Nash tersebut diiringi dengan ancaman siksa (uqubah).
(d)   Menggunakan redaksi lain yang menurut gramatika bahasa Arab menunjukan tuntutan yang harus dilaksanakan.[19]
Sedangkan hadits diatas hanya mengungkap “Tidak akan sejahtera....” kata itu kalau menurut buku Dr. H. Abu Yasid LL.M., belum bisa dikatakan sebagai larangan atau haram karena masih rancu dan belum tegas, mungkin saja perkataan Nabi itu hanya merupakan sebuah komentar yang ditujukan kepada bangsa persia saja. Sedangkan menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab, hadits itu hanya khusus berlaku pada masyarakat persia pada waktu itu, bukan untuk semua masyarakat dan dalam semua urusan.[20]
Dengan alur pemikiran yang seperti ini maka hadits tadi sesungguhnya tidak melarang secara tegas jika seorang perempuan menjabat sebagai pemimpin kalau yang dijadikan alasan itu adalah asumsi bahwa perempuan memiliki kemampuan nalar di bawah laki-laki. Sebagaimana argumen yang dikemukakan para “ Fuqaha”, maka alasan ini dapat dimengerti oleh sebab perempuan pada masa itu minim akses informasi. Akibatnya, perempuan tidak mengetahui masalah secara universal. Wajar saja jika perempuan pada abad pertengahan terpingkirkan dalam peran sosial politik, karena linkungan ketika itu kurang memberikan peluang secara berimbang antara laki-laki dengan perempuan. Padahal, pada masa Rasulullah masih hidup, Siti Aisyah mampu meriwayatkan 2210 hadits dan itu mengkalahkan kalangan sahabat Nabi yang laki-laki.[21] Tapi hal itu malah tidak jadi perhatian sebagai pertimbangan oleh Rasul dan para sahabat. Sekarang coba kita lihat, di dunia pendidikan sekarang ini jumlah perbandingan antara perempuan dengan laki-laki itu adalah 3:1, jadi otomatis permpuan lebih unggul dibanding laki-laki, Perempuan pada masa kini itu memiliki akses yang sama dengan laki-laki untuk belajar aneka ragam ilmu pengetahuan. Jadi jika masih ada asumsi bahwa perempuan itu memiliki kemampuan nalar di bawah laki-laki, itu sudah terbantahkan. Dan itu adalah model pemikiran-pemikiran terdahulu.
Mengenai argumen lain bahwa perempuan itu memiliki kemampuan fisik yang lemah dibanding laki-laki, namun menurut saya, kelemahan ini tidak akan berpengaruh jika ditunjang dengan fasilitas-fasilitas yang memadai, seperti fasilitas transportasi, komunikasi dan manajemen yang canggih. Itu sudah bisa menutupi kelemahan seorang perempuan di bidang ini. Apalagi zaman sekarang ini teknologi sudah begitu canggih. Ini juga sekaligus merupakan faktor yang dapat menutupi kekhawatiran banyak orang tentang ketidakmampuan perempuan dalam menata mental spiritualnya.
Persoalan lain muncul ketika ada kesan bahwa perempuan tidak diperbolehkan keluar rumah. Kesan ini sering dikaitkan dengan pelarangan seorang perempuan mengambil peran aktif dalam dunia sosial dan politik. Biasanya, pelarangan ini didasarkan pada firman Allah (Q.S. al-Ahzab(33)),:
وَقُرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلاَتَبَرُّجَ الجَاهِلِيَّةِاْلاُوْلَى.........
 Dan hendaklah kamu dirumahmu, dan jangan kamu berhias seperti orang-orang jahiliah yang dahulu......(Q.S. al-Ahzab(33)),:[22]
Apa yang perlu dielaborasi adalah bahwa pelarangan keluar rumah pada ayat ini lebih ditujukan pada mereka yang keluar rumah dengan mengumbar aurat ( tabarruj al-jahiliyah ) “تَبَرُّجَ الجَاهِلِيَّةِ”. Karena itu, fikih sebenarnya membolehkan keluar rumah untuk bermuamalah dengan ketentuan menutup auratnya. Bahkan, perempuan sedang menjalani masa idah sekalipun masih ditoleransi untuk keluar rumah dengan alasan hajat (ada kebutuhan mendesak).[23] Kalau untuk urusan muamalah yang dimensinya personal saja fikih membolehhkan perempuan keluar rumah, apakah dengan alasan yang sama (karena kebutuhan) perempuan lalu dilarang ikut berperan aktif mengurusi umat manusia yang dimensinya sosial dan langsung bersentuhan dengan hajat orang banyak? Kalau menurutku boleh-boleh saja karena dengan adanya pendidikan pada zaman sekarang ini derajat perempuan dengan laki-laki itu malah perbandingannya jauh lebih banyak yang perempuan dibanding yang laki-laki.
  
IV.             KESIMPULAN
a.       Setelah kita melihat kenyataan dari sejarah yang begitu panjang dan begitu jelasnya mulai dari zaman Nabi sampai Khulafaur Rasyidin sosok seorang pemimpin itu sangat berguna bagi kita bahkan bangsa dan negara dengan demikian akhirnya saya dapat menyimpulkan bahwa mengangkat seorang pemimipin itu hukumnya “Fardhu Kifayah. Artinya, proses dan penentuan seorang pemimpin itu adalah kewajiban Rakyat, pada pundak merekalah pertama kali kewajiban tersebut dibebankan karena bagaimanapun, kalau dalam suatu komunitas tidak ada yang memimpin niscaya tatanan kehidupan yang harmonis tidak akan pernah tercipta. Semua akan bertindak sesuai dengan keinginannya masing-masing individu karena itu, umat lalu dituntut untuk membentuk suatu tata aturan kehidupan yang dikendalikan oleh seorang pemimpin. Dan perlu diingat, walaupun begitu kekuasaan tertinggi tetap berada ditangan rakyat, rakyat punya hak penuh untuk memilih dan memberhentikan seorang pemimpin.
b.      Setelah kita panjang lebar membahas tentang pandangan hukum Islam terhadap kepemimpinan perempuan dan di atas tadi juga telah saya paparkan tokoh-tokoh yang membolehkan dan tokoh yang tidak membolehkan. Jadi kalau menurut saya mengangkat seorang wanita/perempuan untuk menjadi pemimpin itu hukumnya “Mubah” (boleh) alesannya apa? Karena diera zaman globaisasi sekarang ini itu jumlah selisih antara laki-laki dengan perempuan itu adalah 3:1 jadi dengan demikian mayoritas penduduk di dunia ini didominasi oleh seorang perempuan dan tidak ada salahnya jika nantinya banyak seorang permpuan yang menjadi pemimpin. Dan dengan alasan yang lain yaitu dilihat dari realita pada masa sekarang ini, di masa sekarang ini dunia pendidikan mulai dari TK sampai perguruan tinggi juga didominasi oleh seorang perempuan sehingga sudah otomatis antara laki-laki dibanding dengan perempuan kini telah mengalami perubahan yang besar ( Revolusi ) itu telah jauh berbeda pada zaman Rasulullah SAW dengan zaman sekarang. Di samping saya membolehkan, tapi dengan ketentuan seandainya jika masih ada seorang laki-laki yang dianggap sah mengenai syarat-syarat dan rukun-rukun serta dianggap mampu untuk menjadi seorang pemimpin itu alangkah baiknya laki-laki saja, agar kita sebagai umat Islam, itu tidak bertolak belakang dengan ajaran sunah Rasul.

V.                PENUTUP
Demikianlah uraian yang dapat Penulis sampaikan dalam paper ini. Sebagai manusia biasa, tentunya paper ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari Para Pembaca sangat Penulis nantikan demi kesempurnaan paper dimasa yang akan datang. Semoga paper ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi Pembaca pada umumnya.






DAFTAR PUSTAKA

Al-Alim al-Qur’an, Juz VII.
As Sasyiqi,Ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafi, Fatwa Tradisional untuk Orang Modern, Jakarta: Radar Jaya Offset, 2002.
Charlez, Seni Memimpin Diri Sendiri, Yogyakarta: KANISIUS, 1986.
Khaliq, Farid Abdul, Fikih Politik Islam, Jakarta: Dar Asy-Syurtiq, 2005.
Madaniy, Malik, Politik Berpayung  Fiqh, Yogyakarta: Pustaka Pesantren 2010.
Nata, Abuddin, Masail Al-Fiqiyah, Jakarta: Kencana, 2006.
Pradiansyah, Arvan, Atlas Dunia,Yogyakarta: Andi, 2008.
Qodir, Zuly. Sejarah Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Yasid, Abu, Fikih Politik, Jakarta: Erlangga, 2010.


[1] Charlez C.MANZ, Seni Memimpin Diri Sendiri, ( Yogyakarta: KANISIUS, 1986 ), hlm. 5
[2] Ibid, hlm. 6
[3] Ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafi As Sasyiqi, Fatwa Tradisional untuk Orang Modern, ( Jakarta: Radar Jaya Offset, 2002 ), hlm. 6
[4] Dr. KH. A. Malik Madaniy, M. A., Politik Berpayung  Fiqh, ( Yogyakarta: Pustaka Pesantren 2010 ), hlm. 15
[5] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. (ed.), Masail Al-Fiqiyah, ( Jakarta: Kencana, 2006 ), hlm. 112
[6] Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, ( Jakarta: Dar Asy-Syurtiq, 2005 ), hlm. 82
[7] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. (ed.), Op.cit, hlm. 114
[8] Ibid, hlm. 115
[9] Al-Alim al-Qur’an, Juz VII, hlm. 160
[10] Ibid, hlm.161
[11] Ibid, hlm.168
[12] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. (ed.), Op.Cit, hlm. 116
[13]Ibid, hlm. 117
[14] Zuly Qodir, Sejarah Islam, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007 ), hlm. 34
[15] Ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafi As Sasyiqi, Op.Cit, hlm.7
[16] Arvan Pradiansyah, Atlas Dunia, ( Yogyakarta: Andi, 2008 ), hlm. 119
[17] Zuly Qodir, Op.cit, hlm. 56
[18] Dr. Abu Yasid, LL. M., Fikih Politik,( Jakarta: Erlangga, 2010 ), hlm. 87
[19] Ibid, hlm. 88
[20] Dr. KH. A. Malik Madaniy, M. A., Op.cit. hlm.16
[21] Dr. KH. A. Malik Madaniy, M. A., Loc.cit
[22] Dr. Abu Yasid, LL. M., Fikih Politik,Op.cit. hlm. 90
[23] Ibid, hlm. 92

Tidak ada komentar:

Posting Komentar